Rabu 11 Dec 2019 13:40 WIB

Pengganti UN: Asesmen Kompetensi Minimum & Survei Karakter

Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter jadi program pengganti UN.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim (kiri). Menurut Mendikbud, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan jadi pengganti Ujian Nasional.
Foto: Republika/Inas Widyanuratikah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim (kiri). Menurut Mendikbud, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan jadi pengganti Ujian Nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengatakan, Ujian Nasional (UN) tak lagi diselenggarakan setelah 2020. Mulai 2021, Ujian Nasional akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.

"Berdasarkan survei dan diskusi bersama dengan unsur orang tua, siswa, guru, praktisi pendidikan, dan kepala sekolah, materi UN itu terlalu padat sehingga cenderung mengajarkan materi dan menghafal materi, bukan kompetensi," ujar Nadiem di Jakarta, Rabu.

Baca Juga

Nadiem mengatakan, UN juga membuat siswa dan guru stres dan hal itu mengubah indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal, sebenarnya, UN penilaian sistem pendidikan baik itu sekolahnya, geografi, hingga sistem pendidikan nasional.

"UN ini hanya menilai satu aspek saja, yakni kognitifnya. Bahkan enggak semua aspek kognitif kompetensi dites, dan lebih banyak ke penguasaan materinya dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik," jelas dia.

Selepas pelaksanaan UN 2020, penyelenggaraan sistem penilaian seperti itu tidak akan diselenggarakan kembali. Mulai 2021, pelaksanaan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.

Pelaksanaan penilaiannya pun diselenggarakan berbeda dengan UN. Jika UN diselenggarakan pada akhir jenjang sekolah, maka Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan diselenggarakan pada pertengahan jenjang sekolah.

Kompetensi yang diukur benar-benar minimum, yakni literasi dan numerasi. Literasi bukan mengukur kemampuan membaca tapi menganalisa suatu bacaan. Sedangkan numerasi yakni kemampuan menganalisa dan menggunakan angka.

"Jadi yang diukur bukan penguasaan konten, tapi kemampuan kompetensi dasar," kata dia.

Selain itu, menurut Nadiem, dalam penilaian tersebut juga dilakukan survei karakter. Hal itu bertujuan untuk mengetahui ekosistem sekolah. Ia menilai, selama ini, yang dimiliki hanya data kognitif tanpa mengetahui bagaimana pengamalan Pancasila diterapkan.

"Penilaian ini dilakukan ditengah jenjang, dengan harapan memberikan kesempatan pada guru untuk melakukan perbaikan. Ini sifatnya formatif berguna bagi sekolah dan juga siswa."

Nadiem menegaskan dalam merancang tes tersebut, pihaknya dibantu dengan organisasi dalam dan luar negeri, agar setara dengan penilaian internasional namun penuh dengan kearifan lokal.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement