Rabu 27 Nov 2019 20:29 WIB

Proporsi Vital Guru pada Era Digital

Proporsi vital guru harus berbanding lurus dengan jaminan kesejahteraannya

Guru mengajar di kelas. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Guru mengajar di kelas. (Ilustrasi)

Peringatan Hari Guru masih hangat di beranda berita. Terlebih dengan Mendikbud Nadiem Makarim yang berlatar belakang kalangan milenial, mutu guru dan pendidikan tentu menjadi sorotan sejak dirinya terpilih sebagai menteri sebulan lalu.

Karenanya, di sini kita akan coba mendetaili isu guru ini setidaknya dari dua sisi. Pertama, kesejahteraan profesi guru. Kedua, guru sebagai output perguruan tinggi keguruan. Aspek kedua ini terkait erat dengan minimnya minat para murid untuk menjadi guru di masa depan hingga berdampak pada krisis guru.

Baca Juga

Pertama, kesejahteraan profesi guru. Terkait hal ini, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, sosok guru harus dilihat secara komprehensif. Ia berpendapat, pidato-pidato tentang mulianya profesi guru tak terlalu dibutuhkan.

Yang dibutuhkan guru adalah kebijakan yang nyata karena negara kita kekurangan guru, demikian menurut Unifah. Pasalnya, selama 10 tahun tidak ada pengangkatan guru. Akibatnya, di negara kita terjadi kekurangan guru. Saat ini, 52 persen guru berstatus guru swasta dan honorer yang digaji terbatas.

Bagaimana pun, guru adalah profesi. Di balik peran ikhlas para guru, tetaplah ada aspek profesionalisme yang harus diperhitungkan. Aspek profesionalisme ini jelas sangat lekat dengan kesejahteraan. Yakni gaji dan posisi yang layak sebagai kaum pencerdas bangsa. Dan hal ini sejatinya menuntut prioritas utama dan peran aktif dari negara.

Kedua, guru sebagai output perguruan tinggi keguruan. Tapi coba kita tengok data tentang minimnya minat para murid SMA yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. 

Mei lalu, Kemendikbud mengadakan tes angket kepada 512.500 murid SMA/MA di 8.549 sekolah, yang menjadi peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019. Tujuan angket ini tak lain untuk mengkaji informasi non-kognitif peserta didik, salah satunya mengetahui cita-cita mereka di kemudian hari.

Dari hasil angket yang dipaparkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud, Totok Suprayitno menyebutkan, 89 persen murid bercita-cita untuk menjadi pengusaha dalam berbagai sektor. Sementara sisanya, sebanyak 11 persen dengan mayoritas perempuan, bercita-cita menjadi guru.

Totok mengatakan, dari 11 persen peserta didik yang bercita-cita menjadi guru, sayangnya tergolong peserta dengan nilai UNBK yang tidak maksimal, berbanding terbalik dengan yang tidak ingin menjadi guru.

 Jadi intinya, yang mau menjadi guru adalah not the best dari para siswa itu. Padahal, semestinya siswa terbaik dari yang terbaik yang mampu dan mau menjadi guru. Sebab, guru merupakan gerbang utama dari terwujudnya masyarakat yang berkualitas.

Kedua kondisi di atas benar-benar ironis. Memang, seringkali kita temukan, anak pintar bukanlah sosok yang bisa menjadi guru. Ia hanya bisa menjadi pembelajar, tapi bukan sosok pengajar. Akibatnya, ia jadi tak berminat kuliah di keguruan. Karena baginya, passion-nya bukan di situ. 

Terlebih, ketika motif kapitalistik sudah merasuk dalam benak, bahwa guru adalah profesi bergaji minimalis. Tentu saja mereka jadi lebih menghindari profesi tersebut karena bukan profesi yang bisa menjanjikan pendapatan bernominal besar.

Pun kadangkala kita temukan, murid yang masuk ke jurusan keguruan bukanlah murid terbaik saat sekolah. Mereka kuliah di keguruan justru karena tak diterima di jurusan lain yang lebih bergengsi atau favorit. 

Alhasil, jurusan keguruan jadi tak lebih dari jurusan buangan. Tempat tujuan akhir bagi para murid yang merasa lebih baik kuliah di keguruan daripada tidak kuliah sama sekali. Sungguh penuh rasa terpaksa. Bagaimana hendak menjadi guru sejati jikalau motivasi awal masuk keguruan saja atas keterpaksaan. Menyolusi hal ini, setidaknya dapat kita tinjau juga dari dua aspek.

Pertama, mendudukkan penyediaan guru sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah selaku penyelenggara negara. Yang ketika memang pemerintah menyadari sepenuhnya tanggung jawabnya, maka sistem pendidikan yang paripurna juga akan diupayakan berkualitas terbaik. Segala sarana dan prasarana, termasuk keberadaan guru, akan difasilitasi oleh pemerintah. Kesejahteraan guru juga dijamin hingga kebutuhan individu guru terpenuhi.

Sejarah pernah mencatat pada suatu masa saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab RA. Beliau ra, menggaji guru masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulan. Angka ini jika dirupiahkan yakni hampir sejumlah Rp 34 juta.

Ini masih belum termasuk fasilitas lain yang beliau sediakan selaku kepala negara yang sangat memperhatikan dan memprioritaskan pendidikan bagi generasi pengisi peradaban masa depan.

Di samping itu, kualitas guru juga begitu mumpuni pada masa itu. Dengan gaji besar toh bukan kemudian para guru itu ongkang-ongkang kaki dan makan gaji buta. Kiprah mereka benar-benar terbukti mencetak generasi emas konstruktor peradaban gemilang.

Kedua, menjadi sosok yang polymath, artinya punya banyak keahlian dan kepandaian. Sistem pendidikan semestinya mencetak generasi yang tak berpikir sempit bahwa menjadi guru pasti tersandera oleh ego sektoral. 

Artinya, jika sudah menjadi guru maka hanya boleh berdinas di sekolah. Seakan-akan tak boleh berperan aktif di luar sekolah menjadi ilmuwan, insinyur, juru dakwah, ataupun aktivis politik.

Pandangan ego sektoral semacam ini sungguh pandangan sekularistik. Ilmu Allah seperti dikotak-kotakkan antara ilmu agama dengan ilmu dunia. Jika sudah pandai ilmu agama atau menjadi seorang ustadz, maka dilarang bicara problem sosial-politik. Aturan yang mengharuskan hal demikian hanyalah tata aturan kehidupan sekularistik.

Inilah mengapa sistem pendidikan di negeri ini harus berbenah total. Proporsi guru di era digital tidak selayaknya dipinggirkan. Seolah-olah guru bukan profesi bergengsi, padahal di tangan para guru-lah kualitas generasi masa depan itu akan ditentukan.

Profesi guru harus dikembalikan sebagai pendidik dan pembina. Guru bertanggung jawab besar terhadap kualitas dan potensi murid lebih dari sebatas memberikan pendidikan karakter dan revolusi mental.

Pilihlah orang-orang terbaik untuk menjadi guru. Pilihlah yang keimanannya terjaga hingga dapat menunjang kinerja terbaiknya. Dan di samping itu, janganlah memasung peran guru yang mulia itu dengan rendahnya honor dan seabrek pekerjaan bahkan mereka harus terkendala sederet birokrasi, hanya dan hanya akibat negara salah kelola sistem pendidikan. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement