Senin 25 Nov 2019 10:12 WIB

Selamat Hari Guru: Guru Sejahtera, Manusia Berdaya

Satu guru bisa melahirkan banyak orang-orang hebat.

Guru
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Guru

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany*

Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar kata ‘guru’? sebagai orang yang terlahir dari rahim seorang guru dan saat ini menjalani profesi sebagai pendidik, guru zaman saya sekolah dasar di pertengahan tahun 90’an ialah sosok yang berdiri di depan kelas, lengkap dengan penggaris kayu panjang dan kapur.

Saya ingat betul, di usia saya yang belum genap enam tahun, ibu sudah mengantar saya masuk SD dan diterima (tanpa TK!). bayangan yang masih melekat hingga kini, guru SD saya pertama kali (Ibu Een) selalu rutin menulis materi atau mendiktekannya di hadapan murid-murid dan memberikan sedikit ‘hukuman’ bagi siswa yang ketinggalan didikte. Bagian terakhir adalah saya salah satunya, hehehe.

Guru, bagaimanapun fisiknya, suaranya, cara mengajarnya, jenis bidang keilmuannya; mereka tetaplah guru. Sosok manusia biasa yang sangat mungkin sekali waktu ia bisa marah ketika siswa di kelasnya sulit untuk diarahkan, sangat mungkin ia bosan atas perintah-perintah birokratif yang menimpanya; tuntutan rancangan pembelajaran semester, input nilai ratusan siswa, membuat karya sebagai bukti kompetensinya, serangkaian rapat yang sedemikian padat dan tuntutan-tuntan melelahkan lainnya.

Kita semua sadar bahwa guru adalah profesi yang teramat mulia. Guru adalah sosok tanpa tanda jasa, katanya. Sebab, hampir-hampir tiada profesi yang bisa terlahir tanpa peranan seorang guru. Apapun tingkat atau strata pendidikan kita—dari PAUD hingga S3; semua sangat membutuhkan seseorang yang mengabdikan dirinya di bidang pendidikan terlepas dari apapun sebutannya; guru, pembimbing, ustadzah, dosen, murobbi, atau sebutan-sebutan keagamaan lainnya.

Peranan mereka semua sama; membimbing, mendidik, mengarahkan, kalau bisa—menjadikan siswanya menjadi teman belajar yang lebih baik untuk bertumbuh dan berkembang. Tentu, ini bukan perkara yang mudah jika semua peranan ini ditibankan kepada seorang pendidik (saja).

Kolaborasi; istilah yang sering didengungkan oleh Ibu Najeela Shihab, misalnya— sangat perlu kita lakukan. Kerjasama kolaboratif bisa melibatkan para pemangku kebijakan di pusat maupun daerah, para guru dari berbagai daerah, orangtua murid dan tentu saja siswa. Dari komponen-komponen yang bekerjasama secara kolaboratif ini; elemen guru adalah yang sangat vital sekaligus krusial.

Vital karena guru-lah yang menajalani peranan itu secara professional meski dalam beberapa situasi mereka belum memeroleh kelayakan hak material. Krusial karena jika kondisi guru; hanya banyak tuntutan tanpa bentuk perhatian dan peningkatan kesejahteraan, maka Indonesia akan mengalami krisis guru. Krisis dalam arti makro banyak guru yang masih mau mengajar namun dengan kualitas minim. Atau secara mikro, mereka enggan menjadi guru karena tau persis nasib guru non-PNS, honorer, apalagi guru-guru di pedalaman sangat miris.

Bapak Guru Casman, misalnya. Setelah 23 tahun menjadi guru honorer di SDN Ciawi, Desa Cisampih, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Casman hanya menerima honor Rp 300.000. Namun, semangatnya tetap hidup untuk mengajar seluruh anak didiknya.

Tak hanya itu, untuk menempuh sekolah tempatnya mengajar, tiap hari, warga Dusun Cikandang RT 010 RW 005, Desa Ciranggem, Kecamatan Jatigede, ini harus berjalan kaki sejauh 10 kilometer, pulang pergi. Casman mengaku, tiap hari selain hari libur, dia berangkat dari rumah menuju sekolah sekitar pukul 05.00 WIB. Casman harus menempuh perjalanan sejauh 5 kilometer dengan melalui medan jalan cukup terjal dan memakan waktu 1,5 jam hingga 2 jam perjalanan.

Bapak Guru Casman adalah satu dari sekian banyak guru yang masih mengalami kendala jarak maupun pendapatan yang sangat minim dari usaha gigihnya untuk tetap mengajar. Bapak Guru Casman tak sendiri, ribuan guru honorer, guru-guru tangguh di pelosok pedalaman juga masih menanti angin segar bagi kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kini diamanahkan kepada Bapak Nadiem Makarim diharapkan mampu memberikan secercah harapan baru terhadap nasib-nasib guru. Istilah ‘merdeka belajar’ yang digaungkan oleh Nadiem dalam pidatonya mendapatkan sambutan hangat takhanya dari sosok-sosok yang berprofesi sebagai pendidik namun juga dari para netizen.

Nadiem ingin gaya belajar di Negara kita bisa menjadi lebih baik dan lebih luwes. Guru dipersilakan untuk merdeka belajar; darimanapun ia memeroleh ilmu demi peningkatan kompetensinya—sehingga cara belajar dan mengajar yang hanya terpusat di kelas, satu arah, kaku, penuh ketakutan dari wajah-wajah murid, dapat diubah!

Sekali lagi, guru tak bisa sendirian untuk mewujudkan cara belajar-mengajar yang ideal dan fleksibel seperti harapan Bapak Menteri. Guru memerlukan pembekalan, guru memerlukan arahan dan bimbingan—termasuk, guru-guru terlebih di kawasan pedalaman dan daerah terpencil yang jauh dari akses pusat kota, sangat membutuhkan pendampingan dan pendapatan bulanan yang layak demi kesejahteraan. Tanpa itu semua, gaung-gaung Merdeka Belajar akan terasa sulit diwujudkan.

Sebab, kesejahteraan manusia di kemudian hari, sangat ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan bisa terwujud dengan baik, berkat jasa seorang guru. Layaknya seorang ibu, jasa guru tak bisa dientengkan. Satu ibu bisa melahirkan anak-anak hebat, namun satu anak belum tentu bisa membalas ketulusan kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu.

Begitupun, satu guru bisa melahirkan banyak orang-orang hebat. Tapi, satu murid, belum tentu bisa membalas jasa seorang guru. Merekalah sang pewujud kesejahteraan manusia; merekalah pendobrak kesadaran bahwa kondisi manusia akan terus tumbuh lebih baik melalui kesadaran pentingnya pendidikan.

Selamat Hari Guru. Guru sejahtera, manusia berdaya!

*Penulis buku

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement