Jumat 22 Nov 2019 03:42 WIB

Menunggu Jumat Pagi (Cerpen)

Kenapa antargolongan saling mempertikaikan kebenaran.

Menunggu Jumat Pagi
Foto:

Madina mengusap sisa air mata di pipinya. Lalu, dia bangun dan melepas mukena. Jarum jam sudah menunjuk pukul tiga lebih seperempat. Itu berarti, Subuh akan berlabuh sekitar satu jam lagi. Setelah melipat mukena, Madina beranjak ke kasur. Tapi, bayangan Gus Ijal masih saja belum lingsir dari pandangannya.

Ketika Madina menatap arah depan, dia melihat Gus Ijal. Ketika Madina mengalihkan pandangan ke samping kanan, dia juga melihat Gus Ijal. Bahkan, Madina pun melihat dia ketika memandang galon, tumpukan piring kotor, lap top, baju-baju, rak buku, hingga cahaya api lilin yang temaram. Pendek kata, Gus Ijal seolah hadir di mana-mana.

Madina ingat, tiga hari yang lalu Gus Ijal menemuinya dan menyampaikan soal sikap keberatan keluarganya. Kata Gus Ijal, salah seorang pamannya pernah berhaluan ke komunitas yang sama dengan orang tua Madina.

Sekarang, si paman kerap menentang tradisi amaliah yang dianut keluarga besar Gus Ijal. Mengatakan bahwa tahlilan itu bid'ah dan ziarah kubur sama dengan perbuatan syirik.

Karena itu, boleh dibilang kalau keluarga Gus Ijal merasa kecewa melihat perubahan si paman tersebut dan mereka menuding komunitas dakwah tempat orang tua Madina aktif berkegiatan sebagai biang keladinya. "Tidak semua yang berada di komunitas itu jadi seperti pamanmu," sangkal Madina.

"Aku belum pernah melihat atau mendengar bapak-ibuku menghujat tradisi-tradisi amaliah ormas yang diikuti keluargamu. Selain itu, kau pun tahu sendiri, bahwa aku secara pribadi bahkan mengikuti beberapa tradisi amaliah ormas yang kau ikuti. Aku ini Islam dan bagiku semua golongan memiliki sisi kebenarannya dalam beragama. Kau sendiri juga yakin seperti itu, bukan?"

Masalahnya, Gus Ijal tak kuasa memandang wajah Madina, kita mesti terima kenyataan bahwa menikah bukan hanya mempersatukan dua orang, tetapi juga mempersatukan keluarga. Mungkin bapak atau ibumu tidak begitu ketat, tapi bagaimana dengan anggota komunitas lainnya? Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Yang tak sealiran dengan kami dalam beramaliah?

"Aku sudah meyakinkan bapak dan ibuku. Mereka bersedia menerimamu," kata Madina.

"Jadi sekarang giliranmu membujuk orang tuamu agar bersedia menerimaku. Yakinkan mereka bahwa bapak dan ibuku memang ikut komunitas itu, tapi mereka tidak suka menyalahkan atau bahkan mengafirkan kelompok lain. Anggota komunitas itu banyak dan orangnya beragam."

"Tapi, bapak dan ibu termasuk rukun dengan tetangga-tetanggaku yang sebagian besar ikut dalam ormas, seperti keluargamu. Maka, kau mesti membuat bapak-ibumu yakin. Itu jika kau memang betul-betul ingin menikah denganku."

"Baiklah, beri aku waktu," kata Gus Ijal, "akan kutemui lagi orang tuaku."

"Sampai kapan aku harus menunggu?"

"Jumat pagi, aku akan datang dengan membawa kabar. Aku janji."

Demikianlah perbincangan antara Gus Ijal dengan Madina. Kini, Madina mesti bersiap menerima apa pun kabar yang Gus Ijal bawa besok. Madina berusaha memejamkan matanya yang masih sembap.

Sembari menanti Jumat pagi tiba, dia memikirkan kenapa antar golongan saling mempertikaikan kebenaran menurut mereka ke berbagai lini kehidupan, bukan malah meyakini kebenaran itu dalam sunyi dan perlahan mewujudkannya dalam cinta, rasa kasih sayang kepada sesama, atau minimal menyediakan ruang-ruang untuk melebur perbedaan.

--- Yogyakarta, 2019

PENGIRIM: KHUMAID AKHYAT SULKHAN

Pemuda kelahiran Batang ini aktif menulis esai dan cerita pendek. Selain menulis, kegiatan lainnya sekarang adalah berjuang menyelesaikan kuliah di Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement