Kamis 21 Nov 2019 16:23 WIB

Jamaah Jumat Mengantuk? Mungkin Khutbahnya Kurang Masuk

Salah satu langkah khutbah Jumat yang efektif adalah tak terlalu panjang dan jelas

 Suasana saat khutbah pada shalat Jumat.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Suasana saat khutbah pada shalat Jumat. (ilustrasi)

Tidak diperselisihkan lagi bahwa menghadiri ibadah Jum`at di masjid bagi laki-laki adalah kewajiban. Begitu adzan Jum`at dikumandangkan, umat Islam diperintahkan untuk segera meninggalkan pekerjaan dan bergegas menuju masjid. Bukan sekedar hadir, jamaah Jum`at diperintahkan diam saat imam berkhutbah, untuk mendengarkan ayat-ayat Al-Qur`an, nasihat, dan peringatan. 

Sayangnya, seringkali kita dapatkan di masjid-masjid, sebagian jamaah shalat Jum`at tidak khusyuk mendengarkan, dan justru asyik dengan kegiatannya sendiri sementara khutbah berlangsung. Ada yang sibuk memainkan handphone, berbisik-bisik, melamun, atau malah tidur mendengkur. Jelas ini adalah perilaku yang perlu teguran. 

Namun jika kita menelisik lebih jauh, banyaknya jamaah yang tidak mendengarkan khutbah itu sebenarnya bukan semata-mata karena mereka belum mengerti bahwa diam mendengarkan khutbah adalah keharusan. Dalam banyak kasus, faktor utama ketidakpedulian jamaah terhadap khutbah adalah rasa bosan. Timbulnya kebosanan ini lebih banyak dipicu oleh imam atau khatib yang “kurang mampu” menyampaikan khutbahnya secara efektif.

Berkhutbah secara efektif adalah kunci agar audien mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan oleh pembicara. Lantas bagaimana berkhutbah secara efektif itu?

1. Jangan terlalu panjang:

Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa shalat Nabi itu sedang, dan khutbahnya juga sedang. (H.R. Muslim). 

Disebutkan pula dalam hadits riwayat Ammar bin Yasir, bahwa Nabi bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang itu pertanda kepahamannya. Maka panjangkanlah shalat, tapi pendekkanlah khutbah, karena dalam ucapan itu sungguh terdapat sihir (maksudnya, seperti sihir, ucapan yang disampaikan dengan baik itu memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain).” (H.R. Muslim)

Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa khutbah yang paling baik dan sesuai sunnah adalah yang tidak terlalu panjang. Ukuran sedang ini tentunya relatif, namun patokannya adalah panjangnya khutbah itu hendaknya tidak melebihi panjangnya shalat Jum`at. Jika dua rakaat shalat Jum’at bisa diselesaikan dalam waktu 10 menit, maka durasi khutbah semestinya cukup 10 menit kurang sedikit.  

Kemampuan menyampaikan khutbah tanpa berpanjang kata menunjukkan bahwa khatib betul-betul menguasai materi, dan mampu menyampaikan pesannya dengan kata-kata yang tepat. Hal itu juga menunjukkan bahwa khatib mengerti bahwa yang lebih pokok dalam ibadah Jum`at adalah shalat, bukan khutbahnya, sehingga shalat hendaknya dilakukan dengan durasi waktu yang lebih lama ketimbang khutbah. Inilah sebabnya Nabi mengatakan bahwa khutbah yang lebih pendek dari shalat itu menandakan bahwa si empunya adalah orang yang paham. 

2. Pilih kata-kata yang jelas, singkat, namun padat:

Penggunaan kalimat yang tepat dalam berkhutbah dapat mempengaruhi tingkat perhatian jamaah terhadap isi khutbah yang disampaikan. Hal ini penting untuk diperhatikan para khatib, sebab hakikatnya mereka adalah mubaligh, yang menurut asal bahasa berarti orang yang menyampaikan. Tugas utama seorang mubaligh -dalam hal ini khatib- adalah menyampaikan isi khutbahnya kepada hadirin. Untuk itu, khatib semestinya menggunakan ungkapan yang bisa dimengerti oleh semua yang hadir. Tak perlu memaksakan diri untuk memakai istilah-istilah asing yang tidak dimengerti oleh awam, hanya supaya terlihat pintar atau keren. 

Dari Aisyah, dia menuturkan, “Ucapan Rasulullah itu jelas dan dapat dipahami oleh siapapun yang mendengarnya.” (H.R. Abu Daud).

Selain kata yang digunakan harus jelas, seorang khatib hendaknya juga menyampaikan khutbahnya dalam kalimat-kalimat yang singkat namun padat isi. Khatib yang bertele-tele dalam menyampaikan khutbahnya, cenderung membuat jamaah merasa bosan. Di samping tidak mudah dimengerti, kalimat yang terlalu berbelit-belit akan semakin memperpanjang durasi waktu yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, Rasulullah adalah khatib yang paling mumpuni menggunakan kata-kata yang singkat namun padat. Kata Nabi, “Aku dianugerahi jawami’ul kalim.” (Muttafaqun ‘alaih). Az-Zuhri menjelaskan bahwa maksud dari jawami’ul kalim adalah kemampuan untuk berbicara dengan kata-kata yang ringkas, sedikit kata, tapi banyak maknanya  .   

3. Gunakan intonasi yang tepat

Seperti halnya dalam pidato pada umumnya, khutbah Jum’at harus disampaikan dengan nada dan intonasi tepat yang mampu menggetarkan hati. Adapun bagaimana intonasi yang tepat dalam khutbah Jum’at, maka berikut ini yang dikisahkan oleh Jabir bin Abdillah tentang gaya Rasulullah ketika berkhutbah. 

Kata Jabir, “Apabila Rasulullah berkhutbah, mata beliau memerah, suara beliau meninggi, (dengan nada seakan) beliau murka, seperti orang yang memberi peringatan akan datangnya musuh, sambil mengatakan: ‘Musuh akan menyerang kita, esok pagi atau sore hari!!’ (H.R. Muslim). 

Syaikh Athiyyah Muhammad Salim mengatakan, ketiga hal mengenai sifat khutbah Nabi itu menandakan bahwa Rasulullah menyampaikan khutbahnya dengan penuh antusiasme dan penjiwaan terhadap materi  . Inilah khutbah yang memiliki kekuatan untuk mengetuk jiwa dan menggetarkan hati pendengarnya. 

Kata Irbadh bin Sariyah, “Rasulullah pernah menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan melinangkan air mata”. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim). 

Demikianlah semestinya khutbah disampaikan. Lantang, berapi-api, sekaligus menggetarkan. 

4. Jangan membaca teks

Jangan membaca teks. Membaca ya, bukan memegang. Memegang teks tidak masalah, asal jangan dibaca. Cukup sebagai catatan pokok-pokok isi khutbah saja. Ini adalah tips umum dalam berpidato. Bukan larangan secara syar’i, sehingga sah-sah saja membaca teks dalam khutbah Jum’at. Namun yang pasti, seseorang yang berkhutbah sambil membaca teks, tak akan mampu menghasilkan khutbah yang betul-betul masuk ke dalam jiwa. 

Silakan anda perhatikan bagaimana para orator ulung berpidato. Bung Karno, Bung Tomo, atau Habib Rizieq misalnya. Saya yakin, tak seorang pun dari mereka yang membaca teks saat berorasi. Itulah kenapa, pidato-pidato mereka begitu membius. Silakan bandingkan dengan yang berpidato sambil membaca teks. Anda akan tahu bedanya.

5. Lakukan dengan Ikhlas

Last but not least, lakukan segalanya dengan ikhlas. Tak ada artinya melakukan semua kiat-kiat lahiriah di atas, jika tidak dilandasi keikhlasan karena Allah. Hanya dengan keihlasan saja, sebuah nasihat –dalam hal ini khutbah- dapat merasuk ke dalam jiwa. 

Seorang khatib hakikatnya adalah da`i yang tugasnya hanyalah menyampaikan. Tak perlu ciut hati ketika orang membenci khutbah anda. Jangan pula berbangga diri saat mereka antusias menyambutnya. Apapun respon orang, setuju atau menolak. senang atau berang, bukanlah urusan da`i. 

فَذَكِّرْإِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ. لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ. (الغاشية : 21 – 22)

“Maka berilah peringatan, (sebab) engkau hanyalah seorang pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S. Al-Ghasyiyah : 21-22)

Pengirim: Niken Sari

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement