Selasa 19 Nov 2019 08:24 WIB

Desa Siluman di Balik Mimpi Pemerataan Kesejahteraan

Mimpi pemerataan kesejahteraan yakkan tercapai bila mental pejabat di bawah standar

Koruptor (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Koruptor (ilustrasi)

 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani beberapa pekan lalu, menyatakan bahwa beliau mensinyalir ada fenomena ‘desa siluman’ di Indonesia. Yang dimaksud dengan desa siluman adalah desa yang secara kenyataan keberadaannya tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tapi desa ini menerima aliran sejumlah dana untuk pembangunan di daerah tersebut.

Tipe-tipe kasus seperti ini bagi orang Indonesia sebenarnya bukanlah kasus yang aneh lagi. Ketika kebijakan zonasi sekolah, berita mengenai KTP ‘siluman’ juga banyak diekspos oleh media-media massa online maupun offline. KTP ‘siluman’ dibuat dengan tujuan anak-anak si pembuat KTP tersebut dapat diterima di sekolah favorit yang orang tuan atau anaknya inginkan. 

Dan ini membuktikan bahwa mental kebanyakan orang Indonesia memang masih di bawah standar. Segala daya upaya dilakukan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, meskipun dengan cara-cara yang tidak dianjurkan. 

Kebijakan pemerintahpun turut mendukung terciptanya mental-mental di bawah standar ini. Jika penjaminan mutu pendidikan merata ke seluruh Indonesia, maka Indonesia tidak butuh kebijakan zonasi. Peserta didik akan ‘terzonasikan’ dengan sendirinya. Mereka akan memilih sekolah yang jaraknya dekat dengan rumah, karena mereka tahu sekolah manapun menawarkan mutu pendidikan yang sama. Begitu pula pada kasus desa ‘siluman’. Jika saja kesejahteraan untuk masyarakat merata ke seluruh Indonesia, maka Indonesia tidak butuh pengalokasian dana untuk daerah-daerah tertinggal, misalnya. 

Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan pemerintah seperti tersebut di atas mengkonfirmasi  ketidakmampuan mereka dalam meratakan kesejahteraan rakyat maupun mutu pendidikan, dan tidak bisa disangkal lagi, sektor-sektor lain seperti fasilitas kesehatan yang bermutu juga tidak dapat dinikmati secara merata.

Hanya orang-orang ‘berduit’ saja yang bisa. Dan ini terjadi pada periode pemerintahan semua Presiden Indonesia.

Pajak hanya akan menambah beban rakyat kecil, bukan mensejahterakan. Kartu Miskin, zonasi dalam pendidikan, alokasi dana untuk desa tertinggal mungkin akan menyelesaikan masalah tapi secara tidak tuntas, karena terbukti banyak penyelewengan terjadi di dalamnya. Solusi paling logis adalah pengelolaan Sumber Daya Alam oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Langkah besar ini belum pernah diambil, dengan berbagai dalih. Ketidakmampuan Sumber Daya Manusia dalam mengelola SDA adalah di antaranya, baik itu secara pengetahuan maupun sikap. Faktor luar juga berpengaruh di sini. Negara mana sih yang tidak kepincut dengan gunung emas di Papua?        

Islam sebenarnya mempunyai solusi untuk ini. Pertama, Islam akan membenahi mental koruptif pejabat-pejabat negara. Kedua, sistem pendidikan Islam akan melahirkan generasi cerdas berpengetahuan tinggi.

Ketiga, Islam akan menjaga independensi negara. Tidak ada cerita negara yang berani menerapkan Islam secara menyeluruh masih takut dengan negara-negara adikuasa penguasa SDA negara-negara di dunia. 

Pengirim: Asri Hartanti, Ibu Rumah Tangga

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement