Selasa 12 Nov 2019 16:46 WIB

Bystander Effect dan Masalah Sosial di Indonesia

Fenomena Bystander Effect dikhawatirkan menjangkiti pemuda di Indonesia

Pemuda (ilustrasi)
Foto: ugm.ac.id
Pemuda (ilustrasi)

John Darley kaget, Psikolog dari Amerika Serikat ini tak habis pikir akan musibah yang menimpa Kitty Genovese di bulan Maret tahun 1964. Malam itu di kegelapan kota New York, Kitty baru saja pulang dari tempat kerjanya sampai akhirnya ia diserang ketika hampir sampai ke tempat tinggalnya.

Ia dirampok dan dianiaya hingga meninggal dunia. Polisi memperkirakan Kitty dianiaya sekitar 30 menit lamanya sebelum akhirnya meninggal dunia karena luka-luka di tubuhnya. 

Fakta yang mencengangkan adalah saat penyerangan terjadi terdapat 13 orang tetangga Kitty yang ternyata mendengar teriakan minta tolong, tetapi tak ada satu pun yang turun menolong bahkan sekadar untuk menelepon polisi. Jika pada saat itu ada satu saja tetangganya yang turun membantu, mungkin musibah ini akan memiliki akhir yang berbeda.

Bystander Effect, itulah nama yang akhirnya disematkan John Darley terhadap fenomena tersebut. Terjemahan bebasnya ialah Efek Menonton. Sederhananya, terdapat situasi yang memerlukan pertolongan dan banyak orang yang menyaksikan situasi tersebut, tetapi orang-orang yang menyaksikan tak turun menolong karena berharap agar orang lain saja yang turun memberi pertolongan. 

Jika terdapat 13 orang tetangga Kitty yang mendengar teriakan minta tolong dari Kitty, maka orang ke-1 berharap biar orang ke-2 sampai ke-13 saja yang menolong, jangan saya. Orang ke-13 berharap biar orang ke-1 sampai ke-12 saja yang menolong, jangan saya.

Fenomena ini sungguh memilukan dan memalukan, tanda nyata kepekaan dan kepedulian seseorang terhadap orang lain telah tergerus. Sesuatu yang tak layak terjadi apalagi terulang.

Namun, ternyata Bystander Effect masih bisa terjadi dalam ruang, waktu, dan situasi yang berbeda. Ia bisa terjadi dalam beragam konteks. Mudah saja untuk membuktikannya.

Ketika membuka kanal video Youtube, ada video ketika seorang polisi lalu lintas diserang dengan senjata tajam di siang hari dan tak ada satu pun orang yang menolong, padahal berderet pengendara mobil dan sepeda motor yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Berpuluh tahun jauhnya antara hari ini dengan hari yang kelam bagi Kitty, beribu kilometer jaraknya antara Indonesia dengan New York, tetapi ternyata Bystander Effect bisa terjadi lagi.

Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan, dua di antaranya adalah masalah kemiskinan dan putus sekolah. Angka kemiskinan masih di kisaran 25 juta jiwa. Untuk angka putus sekolah, jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. 

Untuk kategori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2.420.866 anak yang tidak bersekolah. Ini berarti dari 34 provinsi yang ada di Indonesia terdapat sekita 4,5 juta anak yang putus sekolah. Apalagi jika ditelisik data-data masalah sosial lainnya, seperti angka pengangguran, gizi buruk, korupsi, dan kerusakan lingkungan.

Kembali ke fenomena Bystander Effect, dalam kaitannya dengan berbagai pekerjaan rumah bangsa Indonesia, terdapat kekhawatiran jika Bystander Effect kini menjadi suatu fenomena kolektif yang terjadi pada mayoritas pemuda Indonesia. Menjadi hal yang mungkin terjadi.

Tak ada harta bagi si miskin, tak ada kepedulian bagi mereka yang putus sekolah, tak ada asa untuk menghentikan kerusakan lingkungan, tak ada niat untuk melestarikan lautan, tak ada hati untuk merawat para janda tua yang hidup merana. 

Para pemuda yang terkena Bystander Effect paling bagus hanya akan merasa kasihan tanpa ada aksi yang dilakukan. Mereka menganggap biar orang lain saja yang turun menolong, jangan saya. Mereka berharap biar orang lain saja yang peduli, jangan saya.

Padahal, jika harapan hanya digantungkan pada upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan berbagai masalah sosial, sampai kiamat pun mungkin masalah-masalah sosial tersebut tak akan pernah tuntas. Lain halnya apabila dilakukan upaya serentak yang berakar pada kesadaran dan kepedulian kolektif para pemuda. 

Jika misal terdapat sekitar 4,5 juta anak Indonesia yang putus sekolah lalu terdapat juga 4,5 juta pemuda Indonesia yang peduli, mustahil masalah putus sekolah anak Indonesia tidak selesai. Jika terdapat 25 juta penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan lalu terdapat 25 juta pemuda Indonesia yang peduli, mustahil perkara kemiskinan tak selesai. Jika terjadi bencana kelaparan dan kekeringan lalu serentak berjuta pemuda Indonesia peduli, mustahil tak selesai.

Per hari ini, yang amat dibutuhkan adalah kesadaran dan kepedulian kolektif, bukan malah Bystander Effect kolektif. Pemuda tidak berhenti pada perasaan dan pemikiran bahwa terdapat masalah-masalah sosial di Indonesia, tetapi mulai menunjukkan aksi-aksi nyata.

Fenomena Bystander Effect yang terjadi pada seorang Kitty Genovese ialah gambar kecil. Indonesia dan masalah-masalah sosial yang terjadi di dalamnya ialah gambar besar.

Jangan sampai masalah-masalah sosial di Indonesia ini berakhir sebagaimana tragisnya akhir yang terjadi pada Kitty, Memilukan.

Pengirim: Hakim Herlambang Afghandi

Guru Bimbingan dan Konseling SMA Darul Hikam Bandung

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement