Senin 11 Nov 2019 18:32 WIB

Menziarahi Keteladanan KH Mas Abdurrahman Banten

Ajakan menziarahi keteladanan KH Abdurrahman dapat memberi kesejukan

Lambang Mathla'ul Anwar (ilustrasi).
Foto: Antara
Lambang Mathla'ul Anwar (ilustrasi).

Kaum elit di pucuk pimpinan Pengurus Besar Mathl’aul (PBMA) di bulan November tahun 2019 ini memancarkan wajah dan senyum yang tampak sumringah setelah kaum Pemerintah Kabupaten Pandeglang, memberikan rekomendasi dan dukungan untuk bersama-sama mengawal KH. Mas Aburrahman agar bisa ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional” (Senin, 4/11).

Ikhtiar kaum elit PBMA dalam memperjuangkan KH. Mas Abdurrahman yang lahir sekitar 1882-1943 di daerah Janaka, Jiput Kabupaten Pandeglang, Banten diajukan sebagai “Pahlawan Nasional” merupakan langkah yang tepat dan pantas diapresiasi oleh berbagai pihak agar nilai keteladanan dan kesalehan KH. Mas Abdurrahman dapat terus dihidupkan di kamus ingatan publik, sehingga keteladanannya dapat terus menginspirasi generasi bangsa. 

Nilai kontributif KH. Mas Abdurrahman secara de facto jika dilihat dari peranannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia, hingga saat ini melalui organisasi Mathla’ul Anwar (tempat terbitnya cahaya) yang berdiri atas ide ampuhnya pada 10 Juli 1916 di Menes, dijadikan sebagai media perjuangan untuk membangun ummat, bangsa dan negara Indonesia melalui jalur pendidikan, dakwah dan sosial hingga kini telah memberikan keberkahan di seluruh Indonesia hingga manca negara yang tak ternilai.    

Tetapi nilai kontributif KH. Mas Abdurrahman secara de jure oleh negara Indonesia belum bisa dijadikan indikator sebagai syarat untuk ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional” karena secara administratif ada beberapa tahapan yang harus dilewati berjenjang dan selektif seperti ada rekomendasi dari pemerintah tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional dan persyaratan lainnya.

Gelar pahlawan nasional diberikan kepada warga negara, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, gelar akan diberikan kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya memiliki peran kontributif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menghasilkan prestasi, karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Padahal jika di telusuri jejak prestasi dan peran kontributif KH. Mas Abdurrahman semasa hidupnya secara total didarmabaktikan untuk berjuang melawan penjajahan Kolonial Belanda, menentang pendudukan Jepang. Dan prestasi dan karya terbesar KH. Mas Abdurrahman terwujudnya organisasi Mathla’ul Anwar (MA) yang dijadikan  media perjuangan membangun kesejahteraan ummat Islam, bangsa dan negara Indonesia menjadi barometer peneguh kelayakan untuk ditetapkan dan diberikan gelar pahlawan nasional.

Hal itu sebagaimana disabdakan Soekarno pada 10 November 1951 dalam buku “Dari Pahlawan Revolusi Djadilah Pahlawan Pembangunan”, diterbitan Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1951. Menyatakan “Bangsa jang djiwanja bukan djiwa pahlawan, bangsa jang djiwanja berukuran ketjil, bangsa jang demikian itu tidak dapat mendjadi bangsa jang besar, meski barangkali djumlah rakjatnja adalah besar dan daerah kediamannja adalah luas.” 

Soekarno melalui sabdanya mengingatkan kepada bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa maju dan besar dapat dimulai dengan menghargai dan mengakui jasa para pahlawan berasal dari berbagai daerah yang kontribusi keteladannnya mampu menggerakan kemajuan bangsa. 

Nilai kepahlawanan menurut Soekarno yaitu “orang jang, dengan membelakangkan kepentingan sendiri, membela kepentingan umum. Berdjoang untuk kepentingan umum, bekerdja untuk kepentingan umum, menderita untuk kepentingan umum, kalau perlu mati untuk kepentingan umum. Itulah isi djiwa pahlawan”.

Menziarahi Keteladanan

Melalui momentum angka 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional yang setiap tahun dirayakan, diwujudkan dengan beragam bentuk seperti upacara, pidato-pidato kenegaran dan sebagainya. 

Maka untuk konteks kaum elit di pucuk pimpinan PBMA, ada baiknya momentum peringatan Hari Pahlawan Nasional tahun 2019 ini dijadikan sebagai momentum yang dirayakan berbentuk sebuah undangan dan ajakan-ajakan yang mengabarkan kepada khalayak publik untuk bernapak tilas menziarahi jejak-jejak keteladanan, pemikiran dan karya-karya intelektual KH. Mas Abdurrahman.

Menziarahi jejak keteladanan, pesan artikulatifnya bukanlah sebuah ajakan untuk menziarah “pemakaman” ikhtiar ngalap berkah, tetapi menziarahi dimaksud sebuah undangan untuk mengajak publik luas secara akrab diperkenalkan sebuah biografi, membaca kecerdasan pemikiran dan memahami konteks sejarah kehidupan laku lampah atas nasihat-nasihat bijak KH Mas Abdurrahman yang diawetkan melalui arsip, buku dan informasi penting lain yang pantas disebarluaskan untuk dinikmati sebagai suguhan inspiratif.

KH Mas Abdurrahman ibarat sebuah kitab klasik, dimana keteladanan lembaran-lembaran kisah hidupnya memiliki keunikan, petuah dan nilai perjuangannya harus diungkapkan oleh kaum elit PBMA sebagai sebuah hikmah miniatur warisan untuk kembali dapat dihidupkan sesuai atmosfir konteks kekinian.

Beberapa karya yang penulis ketahui, tampaknya pantas menjadi pembuka awal  menziarahi jejak-jejak KH. Mas Abdurrahman melalui karya seperti: Kitab Al-Jawa’is Fi ‘Ahkam Al-Janaiz mengulas etika dan tata aturan dalam mengurusi jenazah, Ilm al Tajwid mempelajari aturan membaca Al-Qur’an, Al-Takhfifi, metode mempelajari bahasa Arab, Nahwu Al Jamaiyyah, Ajrumiyah, metode belajar tata bahasa Arab yang menjadi rujukan dasar di Indonesia, Miftah Bab Alsalam, membahas hukum Islam, Fi Arkan Al Imam Wal Islam membahas tentang tauhid.

Mungkin rekaman karya KH Mas Abdurrahman yang lain masih banyak tersimpan rapih di lemari besi kaum elit pada pucuk pimpinan PBMA yang belum sempat diperkenalkan, dipublikasikan dan disosialisasikan kepada khalayak publik. Jika asumsi penulis benar, maka ada baiknya usulan untuk menziarahi karya KH. Mas Abdurrahman untuk disegera ditunaikan.   

Melalui ajakan menziarahi keteladanan itulah, diharapkan agar nilai-nilai spiritual KH. Mas Abdurrahman dapat memberi kesejukan ditengah realitas kehidupan saat ini dengan arus informasi yang berlimpah ruah justru memiliki makna yang membuat dangkal makna kehidupan. 

Sebelum pamit, berilah izinkan penulis berkutkbah bahwa obesitas informasi yang saat ini hadir, seringkali lebih kuat menjadi keberlimpahan informasi yang menihilkan keteladaan sosial dan personal. 

Maka ikhtiar menziarahi keteladanan ini diharapkan melahirkan mahabbah (cinta) berbentuk keteladanan personal dan sosial. Kehidupan tanpa keteladanan adalah kesiasiaan. Dan keteladanan harus di mulai dari aku dan kamu, persis pesan syair sendu Sodiq dan Rena KDI berjudul “Tak Ingin Tanpamu”  bahwa “ku tak ingin hidup tanpa dirimu, ku tak ingin jauh darimu”. Semoga! 

Pengirim: Iin Solihin, Peneliti Mathla’ul Anwar dan Pengajar Komunikasi Politik, Fakultas Hukum dan Sosial, Universitas Mathla’ul Anwar Banten

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement