Kamis 07 Nov 2019 00:03 WIB

Pendidikan Karakter Berbasis Agama Bisa Sebabkan Dogma

Pendidikan karakter berbasis agama tidak perlu dimasukkan dalam mata pelajaran

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Andi Nur Aminah
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal mengatakan, pendidikan karakter perlu diterapkan di sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Namun, pendidikan karakter berbasis agama tidak perlu dimasukkan dalam mata pelajaran (mapel).

Menurutnya, dengan berbasiskan agama dapat menjadi dogma. Yang mana, efeknya akan membuka ruang multi interpretatif karena pengaplikasiannya tergantung kepada subyektifitas guru. "Hal ini justru rawan disalahgunakan pihak tertentu yang memiliki agenda "khusus" yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dan NKRI menggunakan atas nama pelajaran agama dan pendidikan karakter," kata Rizal kepada Republika.co.id.

Baca Juga

Untuk itu, pendidikan karakter yang diterapkan harusnya dengan strategi pembelajaran sosial emosional. Menurutnya, ada empat tahapan proses pendidikan karakter yang seharusnya dilakukan.  Pertama, provokasi dengan memberi stimulus kepada siswa baik melalui video, cerita atau film pendek. Kedua, melalui diskusi dan modelling.

 

Rizal menjelaskan, di poin kedua ini siswa diajak mendiskusikan kasus yang dilihat untuk membedakan mana yang faktual. Tentunya berdasarkan pengamatan dan rangkaian peristiwa untuk menajamkan penalaran, menghaluskan perasaan, memahami emosi, menajamkan empati dan simpati terhadap orang-orang yang terlibat dalam suatu kasus. "Bentuk diskusi bisa dalam bentuk FGD, circle time, pagi berbagi, dan lain-lain," ujarnya.

Ketiga, role playing yang berarti siswa diajak untuk bermain peran dalam memperluas suatu kasus. Sehingga, siswa terlatih untuk empati dan membangun rasa hormat kepada orang lain.

Keempat yakni refleksi. Artinya, siswa diajak untuk mengidentifikasi respon emosi, membangun kesadaran diri serta merencanakan aksi ke depan dalam menanggapi kasus. "Melalui empat framework tersebut maka pendidikan karakter akan lebih membumi dan berdampak nyata hasilnya pada perilaku, perasaan dan sikap anak ttg karakter moral," jelasnya.

Sebelumnya, Ikatan Guru Indonesia (IGI) bersama 22 organisasi guru dan komunitas guru diundang oleh Mendikbud, Nadiem Makarim, Senin (4/11). Di dalam pertemuan tersebut, IGI mengajukan sejumlah hal terkait revolusi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.

Hal pertama yang diajukan adalah Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan pendidikan karakter berbasis Agama dan Pancasila menjadi mata pelajaran utama di sekolah dasar. "Dan karena itu, pembelajaran bahasa Inggris di SMP dan SMA dihapuskan karena seharusnya sudah dituntaskan di SD. Pembelajaran bahasa Inggris fokus ke percakapan, bukan tata bahasa," kata Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim, Senin (4/11).

Selanjutnya, jumlah mata pelajaran di SMP menjadi maksimal lima mata pelajaran dengan basis utama pembelajaran pada coding. Sementara itu mata pelajaran di SMA menjadi maksimal enam tanpa penjurusan lagi. "Mereka yang ingin fokus pada keahlian tertentu dipersilakan memilih SMK," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement