Senin 04 Nov 2019 02:00 WIB

Menanti Pembuktian Nadiem Makarim

Tantangan Nadiem adalah keluar dari jebakan pragmatisme pendidikan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyimak arahan Presiden Joko Widodo saat rapat terbatas penyampaian program dan kegiatan bidang pembangunan manusia dan kebudayaan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10/2019)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyimak arahan Presiden Joko Widodo saat rapat terbatas penyampaian program dan kegiatan bidang pembangunan manusia dan kebudayaan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10/2019)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie*

(Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Founder Ekselensia Tahfizh School)

Mentri Kabinet Indonesia Maju untuk periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah resmi dilantik. Salah satu nama mentri yang mendapat perhatian publik, khususnya di kalangan para pelaku pendidikan, adalah Nadiem Makarim. Pendiri Gojek diberikan amanah sebagai Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Ada kalangan yang menilai penunjukkan tersebut sudah tepat. Harapannya, Nadiem mampu membawa gagasan-gagasan inovatif dalam dunia pendidikan. Ini akan membawa angin segar perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia.

Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan penunjukkan Nadiem sebagai Mendikbud. Rekam jejak Nadiem dalam dunia pendidikan yang belum terlihat, apatah lagi terbukti menjadi alasan utama.

Maka, pertanyaan mendasar, apakah Nadiem memahami akar masalah pendidikan Indonesia yang ruang lingkupnya luas dan kompleks? Ada lebih dari 50 juta pelajar, 2,6 juta tenaga pendidik, dan 250 ribu sekolah yang tersebar di 900 kepulauan di nusantara.  

Suka atau tidak suka masyarakat akan membandingkannya dengan Anies Baswedan, yang juga tergolong muda, saat ditunjuk menjadi Mendikbud era Kabinet Indonesia Kerja yang kemudian digantikan oleh Muhadjir Effendy. Anies dinilai memiliki rekam jejak dan kontribusi  dalam dunia pendidikan sebelum menjadi Mendikbud lewat Gerakan Indonesia Mengajar dan sebelumnya juga pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina.

Sedangkan, Nadiem memang belum menorehkan rekam jejak dan kontribusi apapun dalam dunia pendidikan Indonesia. Nadiem lebih dikenal kontribusinya dalam dunia ekonomi dan financial technology dengan Gojek dan Gopay-nya.

Maka, catatan penting buat Nadiem adalah pembuktian. Masyarakat menunggu pembuktian pertama dari Nadiem. Dan, cara termudah dan tercepat sebagai langkah awal menjawab pembuktian itu adalah menuliskan gagasan dan pemikiran pendidikan seorang Nadiem Makarim.

Meski Nadiem bisa menunjuk para staf ahli untuk membantunya, namun demikian sebagai orang nomor satu di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, masyarakat tetap menanti gagasan pemikiran pendidikan Mendikbud baru ini. Apa narasi yang dibangun dan ditawarkan oleh Nadiem? Ini sekaligus akan menjawab kapabilitas dan kapasitas Nadiem untuk mengurus pendidikan Indonesia.

Pada sebuah laman berita nasional disebutkan bahwa pesan presiden kepada Nadiem adalah menyiapkan sumberdaya manusia (SDM) siap kerja dan mewujudkan link and match dunia pendidikan dengan dunia industri. Nadiem mesti mampu mengartikulasikan gagasan dan pemikirannya untuk menafsirkan pesan presiden tersebut. Narasi dari Nadiem sangat ditunggu oleh masyarakat untuk memahami hendak di bawa ke mana arah pendidikan Indonesia.

Pendidikan bukan sekadar tentang melahirkan SDM siap kerja dan link and match pendidikan dengan industri. Melainkan, ada yang lebih mendasar, substantif, dan filosofis. Pendidikan itu berbicara tentang membangun manusia seutuhnya, ruh dan jasadnya, jiwa dan raganya.

Dalam konsep pendidikan Islam, pendidikan memiliki empat domain utama, yaitu tadrib (pembinaan fisik), ta’dib (penanaman iman dan adab), tarbiyah (pengembangan potensi dan kompetensi), dan ta’lim (pengajaran ilmu pengetahuan). Sementara, Kihajar Dewantara menyebutnya dengan istilah olah raga, olah pikir, olah rasa, dan olah karsa.

Karena itu, tantangan Nadiem adalah keluar dari jebakan pragmatisme pendidikan, apatah lagi bila sampai terperangkap dalam kapitalisme pendidikan. Membangun peradaban bangsa selalu dimulai dengan membangun manusianya.

Sarana paling strategis membangun manusia adalah melalui pendidikan. Kita tidak ingin pendidikan kita sekadar menghasilkan SDM siap kerja yang tidak berbeda jauh dengan robot.

Dari sejarah kita memperoleh pemahaman bahwa dunia persekolahan pertama kali dikenalkan oleh Penjajah Belanda. Tujuan Belanda mendirikan sekolah-sekolah pada masa itu sekadar untuk menghasilkan tenaga-tenaga siap kerja guna membantu Pemerintah Kolonial Belanda. Tentu saja kita tidak ingin pendidikan Indonesia seperti itu. Ini adalah bentuk dehumanisasi. Perendahan harkat dan martabat manusia yang mulia.

Padahal, dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3 ditegaskan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Tujuan pendidikan untuk melahirkan manusia Indonesia yang mulia itu ditegaskan lagi dalam UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU. No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Tujuan pendidikan yang mulia ini tidak akan terwujud tanpa adanya pemahaman yang mendalam dan utuh tentang hakikat pendidikan.

Dari sini kita memahami bahwa seluruh komponen pendidikan, meliputi konsep guru, kurikulum, murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, dan lingkungan pendidikan mesti dibangun secara holistik agar bergerak seirama menuju arah yang sama (tujuan pendidikan). Tanpa itu, jangan pernah berharap terjadi perbaikan kualitas pendidikan Indonesia.

Menghasilkan SDM siap kerja, kompeten, dan profesional bukanlah hal sulit dicapai. Saat ini, saya kira, pendidikan kita telah cukup mampu menghasilkan sumberdaya manusia seperti itu.

Namun, masalahnya SDM tersebut miskin iman dan adab. Buktinya, korupsi, keserakahan, dan ketidakadilan masih menjadi masalah bangsa ini. Bukankah para pelaku bisnis yang culas, pejabat yang korup, politisi yang oportunis, dan cendekiawan yang hipokrit adalah produk pendidikan kita?

Beranikah Nadiem berbenah sampai pada level substansi pendidikan, bukan sekadar kulit dan permukaan? Pertanyaan yang mendahuluinya, apakah Nadiem memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk itu?

Karena, untuk memperbaiki fondasi, tentulah aktornya mesti paham seperti apa fondasi yang sebenarnya. Maka, menarik untuk kita nantikan pembuktian Nadiem Makarim sebagai Mentri Pendidikan dan Kebudayaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement