Kamis 31 Oct 2019 13:27 WIB

Nilai Keibuan (Harusnya) tak Lekang Zaman

Nilai keibuan berbanding lurus dengan iman khususnya menganggap anak sebagai amanah

Ibu dan anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ibu dan anak (ilustrasi)

Kasih Ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa

Baca Juga

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia….

Lantunan lagu di atas biasa diperdengarkan pada anak-anak di masa lampau. Bait lagu yang menggambarkan betapa besarnya kasih sayang seorang Ibu. Namun, kini kita saksikan banyak kasus dimana sosok Ibu justru menjadi penghilang nyawa anaknya sendiri.

Terbaru, kasus di Jakarta Barat, seorang balita 2,5 tahun meninggal karena digelonggong Ibu kandungnya. Dikutip dari detiknews.com-Menurut Kanit Reskrim Polsek Kebon Jeruk AKP Irwandhy Idrus, pelaku diduga stres karena diancam diceraikan apabila anaknya ini dalam kondisi kurus tidak gemuk. (25/10).

Kasus lainnya adalah seorang Ibu (FM) di Bandung, yang tega membunuh bayinya yang baru berumur tiga bulan. FM mengaku, salah satu alasannya membunuh karena ia mendapat bisikan gaib yang meminta dirinya membunuh bayinya agar bisa masuk surga dan ia juga mengaku belum siap memiliki anak. Dikutip dari tirto.id (06/09).

Mungkin kita masih ingat kematian bayi Calista (15 bulan) yang dianiaya Ibu kandungnya. Bayi Calista meninggal dunia setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Ahad (25/03). Dari penyelidikan polisi, tekanan ekonomi menjadi motif pelaku melakukan kekerasan terhadap bayi Calista sebagai pelampiasan kekesalan. 

Beragam motif melatarbelakangi  seorang Ibu untuk menyakiti dan menghilangkan nyawa anak kandungnya sendiri. Bisa motif ekonomi dan psikologi, misal takut dicerai suami ataupun terkena sindrom Baby Blues (yakni perubahan psikologis secara mendadak yang dirasakan seorang Ibu usai melahirkan). Bagaimanakah Islam sebagai sebuah Din yang sempurna mengurai permasalahan ini?. 

Pertama, suami istri harus senantiasa mengingat bahwa tujuan hidup termasuk pernikahan adalah dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya dalam surah Az-Zariyat 56 “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.

Kedua, anak adalah amanah dari Allah Ta’ala, dan ada jaminan rezeki atas setiap anak. Seperti dalam surah Al-An’am ayat 151 yang artinya “..Janganlah membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka”.

Ketiga, wajibnya seorang Ayah untuk menafkahi keluarganya dan bersikap yang baik pada setiap anggota keluarganya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam “Wajib bagi kalian (para suami) memberikan rezeki (makanan) dan pakaian dengan ma’ruf kepada mereka (para istri)” (HR.Muslim 1218).

Keempat, saat seorang istri dan seorang Ibu menghadapi persoalan dalam kehidupan rumah tangganya, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan meminta solusi atau jalan keluar pada Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 45 yang artinya “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin rahimahullah berkata, ‘Sabar adalah  meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah..’ (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal.24).

Kelima, dalam Islam sesama Muslim adalah bersaudara, dan punya kewajiban untuk saling berempati, menolong, dan memudahan saudaranya saat diberi ujian oleh Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada rumus egoisme (individualis) dalam Islam.

Saat melihat saudara kita yang terlihat tertekan dan depresi pasca melahirkan misalnya, maka seorang Muslim mempunyai kewajiban untuk memberikan dukungan, rasa nyaman, dan membantunya mencari jalan keluar yang benar menurut syariatNya.

Keenam, wajibnya kehadiran negara sebagai pengurus urusan umat. Diantaranya jaminan negara terhadap kesejahteraan seluruh warganya, termasuk kesejahteraan para Ibu dan anak-anaknya. Teringat kisah Khalifah Umar bin Khattab yang memikul karung gandum dari Baitul Mal, untuk diserahkan pada seorang Ibu dan anak-anaknya yang kelaparan di sebuah perkampungan terpencil. 

Benar bahwa seorang pemimpin adalah pelayan umat, yang bertanggungjawab mengurusi setiap urusan umat, termasuk ketika seorang Ibu menghadapi permasalahan dalam rumah tangganya. Maka, dengan kembali lagi pada aturanNya dalam kehidupan ini, InsyaAllah masalah yang menjerat kaum Ibu bisa dituntaskan.

Dan sesuai fitrahnya, sosok Ibu bisa kembali menjadi seseorang yang lembut, penyayang, pelindung, dan pendidik bagi putra putrinya. Sebagai penutup, semoga firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nahl ayat 128 ini bisa semakin menguatkan kita : “Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”.

Pengirim: Dahlia Kumalasari, Parenting Enthusiast

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement