Kamis 24 Oct 2019 19:48 WIB

Nadiem Makarim dan Tantangan Pendidikan di Masa Depan

Pendidikan masa depan tak hanya soal SDM siap kerja tetapi juga berkarakter dan moral

Pengemudi ojek online Gojek membawa poster ucapan selamat kepada Pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim di Solo, Jawa Tengah, Rabu (23/10/2019).
Foto: MOHAMMAD AYUDHA/ANTARA FOTO
Pengemudi ojek online Gojek membawa poster ucapan selamat kepada Pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim di Solo, Jawa Tengah, Rabu (23/10/2019).

Jokowi selalu membuat kejutan. Setelah kejutan wapres pilihannya di pilpres 2019 lalu, ia kembali memberi kejutan bagi pendukung dan rivalnya. Menteri kabinet Indonesia Maju telah dilantik.

Kali ini komposisi kementerian banyak diisi kalangan profesional. Sebanyak 59 persen dari profesional dan 41 persen dari partai koalisi. Sebagaimana janjinya pada Megawati, PDIP mendapat jatah kursi terbanyak, yaitu 5 kursi. Total ada 16 orang dari parpol yang mengisi jabatan kementerian. Sisanya terdiri dari orang non partai.

Diantara kementerian yang diisi orang non parpol ialah Mendikbud. Nadiem Makarim, pengusaha muda perintis startup teknologi ride hailing Gojek hingga menjadi Unicorn diminta oleh Jokowi menjadi Mendikbud sekaligus membawahi dikti. Sebab, di kementerian ristek, dikti tak lagi bernaung. Dikti sekarang berada dibawah kendali Mendikbud. 

Nadiem menggantikan posisi Muhadjir Effendy yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Nadiem mengatakan pentingnya mempersiapkan generasi muda agar tak tertinggal di masa depan.

Salah satunya dengan mengubah mindset dan sistem pendidikan. Mantan bos Gojek itu menekankan pendidikan berbasis teknologi. 

Menanggapi pernyataan itu, bermunculan beragam komentar dari masyarakat, terlebih warganet. Beredar lelucon tentang masa depan pendidikan berbasis teknologi yang tersebar di grup-grup whatsapp.

Diantaranya, 'Siswa diantar jemput pakai Gojek atau Gocar', 'Pembayaran SPP pake Gopay', 'Rapor dan Ijazah akan dikirim melalui Gosend', 'Jangan lupa memberi bintang lima kepada guru pengajar'.

Guyonan rakyat ini terpantik lantaran ada pro dan kontra atas ditunjuknya Nadiem sebagai Mendikbud. Seolah tak ada lagi kaum intelektual yang pantas menduduki posisi Mendikbud. Padahal banyak kalangan profesional dari akademisi yang dinilai lebih layak menjabat posisi itu. 

Pihak yang pro mengatakan bahwa Indonesia membutuhkam sosok menteri milenial yang diharapkan membawa pembaharuan dalam pendidikan. Sebagaimana yang pernah diungkap Jokowi bahwa menteri milenial akan masuk dalam kabinetnya di periode kedua.

Rupanya menteri milenial yang dimaksud adalah Nadiem Makarim. Pendidikan dinilai harus memiliki menteri yang berpikiran modern dan maju. 

Pihak yang kontra justru menyangsikan kemampuan Sang Menteri. Sebab latar belakangnya yang pengusaha dan minim pengalaman di dunia pendidikan menjadi pemicunya.

Berlatar pebisnis dirasa tak cocok menjabat menteri pendidikan. Terlebih keahlian Nadiem memang di dunia bisnis bukan pendidikan. Karier dan riwayat pendidikan serasa tak selaras dengan jabatannya sekarang.

Pemikiran semacam itu lumrah. Karena masalah pendidikan dewasa ini bukan sekadar mencetak lulusan siap kerja.

Akan tetapi kualitas moral generasi juga harus menjadi perhatian utama Pak Menteri. Fakta sudah kita saksikan. Betapa banyak korban kekerasan baik seksual, fisik, ataupun verbal di dunia pendidikan.

Apalah guna SDM siap kerja, sementara masalah moral dan karakter generasi masih rusak. Rusaknya generasi sama halnya sedang mempertaruhkan masa depan bangsa ini. 

Arah Pendidikan Mau Dibawa Kemana?

Paradigma pendidikan akan menentukan kemana arah pendidikan itu sendiri. Sebab ia menjadi batu pijakan dalam menetapkan  kebijakan di dunia pendidikan.  Dalam pidato Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 dan Nota Keuangan di Gedung MPR-DPR pada Agustus lalu, Jokowi memberi sejumlah janji untuk dunia pendidikan.

Diantaranya, pertama, anggaran Rp 505,8  triliun. Jokowi akan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara.

Kedua, selaras dengan industri. Pemerintah akan merancang pendidikan sesuai dengan kebutuhan industri. Ketiga, BOS untuk 54,6 juta siswa. Keempat, Beasiswa untuk 20,1 juta siswa. Kelima, beasiswa untuk 818.000 mahasiswa.

Beasiswa ini diberikan untuk akses anak-anak yang kurang mampu mengenyam pendidikan tinggi. Dan terakhir yang paling menarik perhatian yaitu kartu pra kerja. Penerima kartu pra kerja akan diberi pelatihan kerja dalam waktu tiga bulan. Setelahnya mereka mendapat insentif dan sertifikat kompetensi dalam kurun waktu tertentu. 

Pemilihan Nadiem sebagai Mendikbud nampaknya selaras dengan program Jokowi di periode II. Ia berpesan pada Nadiem untuk mencetak SDM siap kerja demi memenuhi kebutuhan industri.

Nadiem yang berlatar pengusaha dinilai mampu menjawab tantangan yang diberikan Jokowi kepadanya. Yakni mencetak lulusan yang siap kerja. Inilah poin penting arah pendidikan di masa Jokowi.

Pendidikan diarahkan untuk mencetak pekerja di dunia usaha. Menggenjot pendapatan negara dengan bisnis berbasis teknologi seperti ecommerce dan lainnya. Untuk mendukung programnya, pemerintah pun membuka  pintu seluas mungkin terhadap investasi serta membangun infrastruktur yang memadai. 

Sayangnya, persoalan moral dan karakter generasi nampaknya tak terlalu diutamakan. Sehingga penunjukan Nadiem sebagai Mendikbud sudah benar bila tujuan pendidikan di masa depan adalah mencetak SDM siap kerja, bukan SDM unggul dan beradab. Sesuai slogannya, 'Kerja, Kerja, dan Kerja'.

Padahal melihat kondisi generasi hari ini sangat miris. Pergaulan bebas, narkoba, pornografi, kecanduan gadget, kekerasan seksual, hingga bunuh diri menyelimuti dunia pendidikan. Sudahkah mendikbud yang baru menyiapkan isntrumen dan strategi menghadapi berbagai problem dan tantangan pendidikan?

Sebab, persoalan pendidikan tidak bisa hanya diukur dengan SDM yang siap kerja semata. Namun ia juga harus menjadi SDM yang unggul karakter dan moralnya. Apalah guna kerja banyak uang dan teknologi berkemajuan bila moral generasi masih rusak dan bejat? 

Pendidikan Islam Mencetak Generasi Unggul Berkemajuan

Menyiapkan generasi unggul sama halnya kita sedang menyiapkan masa depan negara. Bukan hanya unggul keterampilannya, tapi pola pikir dan sikapnya. Pola pikir yang benar dan sikap yang baik akan menghasilkan generasi yang berkepribadian mulia.

Adapun keterampilan, hal itu bisa diasah asal pola pikirnya benar. Tujuan menuntut ilmu bukan hanya untuk kerja dan menghasilkan uang. Tujuan semacam ini terjadi karena pengaruh sistem kapitalis yang tengah diterapkan negeri ini. 

Di masa Islam, pendidikan berbasis Islam menjadi unggulan. Melahirkan banyak generasi cemerlang. Tak hanya pandai dalam ilmu eksak, namun mereka juga cerdas dalam ruhiyah. Sebut saja Al Biruni seorang matematikawan, fisikawan, ahli geografi, farmasi. Ia digelari guru segala ilmu. Menguasai berbagai bidang ilmu. Ada pula Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern.

Terobosannya di dunia medis menjadi rujukan ilmuwan Barat. Ada Al Khawarizmi dikenal di Barat dengan sebutan Algebra. Atas penemuannya terhadap angka nol, kita tidak mengalami kesulitan dalam menghitung angka.

Dan masih banyak ilmuwan muslim lainnya yang membuat decak kagum. Tak hanya ahli dalam ilmu sains, mereka juga ahli agama. Diantaranya bahkan sudah menjadi penghafal qur'an sejak kecil.

Sepenggal kisah sukses Islam membawa peradaban gemilang mengindikasikan pentingnya membangun paradigma pendidikan. Paradigma itu dibangun dengan merumuskan tujuan pendidikan.

Tanpa tujuan yang jelas, proses yang ditempuh akan samar dan mengalami kebingungan. Pendidikan Islam bertujuan membangun manusia yang memiliki kepribadian baik dan benar.

Pendidikan Islam mencetak SDM yang siap menjalani kehidupan berlandaskan iman yang kuat. Sehingga ia terjaga dari jalan salah dan sesat. Islam menghasilkan generasi yang unggul dalam imtak dan juga iptek.

Keilmuannya bertujuan untuk menyelesaikan persoalan manusia. Memberi kemaslahatan dan bermanfaat untuk masyarakat dan negara. Bukan sekadar menjadi mesin pencetak dolar atau rupiah.

Lantas, pendidikan seperti apa yang mau dijalankan oleh seorang Nadiem Makarim? Mampukah ia menjawab tantangan pendidikan di masa depan? Sanggupkah ia menyelesaikan persoalan dasar pendidikan yang tak berkesudahan?

Yaitu kepribadian dan karakter generasi. Itulah tantangan terbesar bagi Mendikbud. Bukan soal kerja dan bagaimana harus berwirausaha. Wait and see saja. Perubahan apa yang akan diberikan Pak Menteri untuk pendidikan? Semakin membuat Pendidikan maju atau malah terpuruk? Wallahu a'lam.

Pengirim: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement