Selasa 22 Oct 2019 13:41 WIB

Revisi Undang-Undang dan Dispensasi Nikah ABG

Revisi usia pada undang-undang ternyata tak berpengaruh pada tingginya nikah ABG

Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pernikahan Dini

Apa jadinya jika puluhan pasangan anak dengan usia seragam abu-abu bahkan nungkin biru, mengajukan dispensasi nikah? Hal ini yang terjadi di Ponorogo. Pengadilan Agama Ponorogo mencatat ada 61 anak baru gede (ABG) terdiri dari 30 perempuan dan 31 laki-laki mengajukan dispensasi nikah selama Januari hingga September 2019. (Republika.co.id, 17/10).

Ada 30 anak perempuan yang mengajukan dispensasi menikah dan 20 di antaranya karena hamil dulu. Sisanya kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan bebas,” kata Humas Pengadilan Agama Ponorogo, Misnan Maulana, Kamis (17/10). Hal yang sama terjadi di Slawi Kabupaten Tegal, yakni 63 ABG.

Terjadinya permohonan dispensasi sebab usia mereka di bawah ketentuan Undang-undang. Berdasarkan Undang-undang nomor 1/1974 tentang Perkawinan di Pasal 7, disebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Sementara saat ini muncul revisi Undang-undang Pernikahan 16 September 2019 sudah ketuk palu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan tinggal menunggu pengesahan presiden dengan jangka waktu paling lama 30 hari setelah penetapan. Dalam pasal tujuh terdapat perubahan usia pernikahan, wanita menjadi 19 tahun atau sama dengan usia pihak laki-laki.

Perlu kiranya mendapat perhatian dari penguasa tentang hal mendasar yang menimpa generasi muda. Tidak cukup hanya dengan melakukan revisi, tapi diperlukan perubahan sistem pengurusan umat. Sebab tingginya angka dispensasi nikah, menunjukkan bahwa pada usia dini para remaja terbawa arus pergaulan bebas.

Konten pornografi dan pornoaksi yang mudah diakses, membuat fokus mereka teralihkan hanya pada aktivitas untuk memenuhi gharizah nau, atau naluri berkasih sayang. Remaja tidak mampu berpikir untuk berkarya mengisi peradaban. Mereka lupa bahwa di tangan merekalah beban kebangkitan umat diletakkan.

Oleh sebab itu, memperbaiki kualitas generasi, tidak cukup hanya dengan menambah batas usia pernikahan. Sebab jika hal itu dilakukan tanpa perbaikan sistem, baik itu ekonomi, pendidikan, sosial, bermasyarakat dan lainnya, maka remaja tidak akan ke luar dari persoalannya. Selamanya mereka akan disibukkan dengan urusan asmara, yang seharusnya mereka mampu mengguncang dunia dengan berbagai inovasi dan teknologi.

Pengirim: Lulu Nugroho, muslimah penulis dari Cirebon.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement