Rabu 16 Oct 2019 10:03 WIB

Kacamata Guru Kohar

Guru Kohar hanya tersenyum ketika ditannya mengapa tak mengganti kacamatanya.

Kacamata Guru Kohar
Foto:

Aku lantas bergegas menyusuri jalan dengan sepedaku. Jarak rumah Guru Kohar dari sekolah tak terlalu jauh. Jalannya cukup lengang. Tak banyak mobil yang melintas.

Gang rumah Guru Kohar cukup untuk dilalui dua motor. Rumah-rumahnya mungil dan sederhana. Aku berpikir, andai Guru Kohar bisa menjadi PNS, atau jadi pengusaha, atau pekerja kantoran, mungkin dalam rentang waktu hidupnya bisa lebih daripada ini.

Terus mengayuh sepedaku. Bergegas untuk memutus rasa penasaranku. Kata guru-guru, rumah Guru Kohar letaknya di sebelah mushala, di ujung jalan. Biasanya ia rajin membersihkan mushala itu.

Akhirnya kutemukan mushala tersebut. An-Nur namanya. Letaknya ada di antara dua rumah. Rumah di sebelah kiri ditutup pagar. Seperti baru dicat. Di depannya ada taman, mungil. Ditanami kamboja.

Tampaknya itu adalah rumah Guru Kohar. Tapi, nanti dulu. Terdengar suara bayi di dalamnya. Selang kemudian perempuan muda membuka jendela rumah itu. Menggendong bayi. Berusaha menghi burnya dengan melihat burung-burung yang terbang di atasnya.

Aku terus memandangi diam-diam. Seorang pemuda lantas masuk menuju mushala. Luas bangunan mushala ini tak terlalu luas, sekitar 6x5 meter. Tapi, komposisi cat hijau yang cerah, beserta ornamen-ornamen Asmaul Husna di sejumlah dindingnya membuat orang ingin berteduh di dalamnya.

Sayup-sayup azan terdengar dari pelantang di atas mushala. Aku sejenak ragu shalat di sana sebab khawatir berpapas dengan Guru Kohar. Tapi, nyali kembali teguh: ingin segera menuntas penasaran ini.

Jamaah saat itu tak terlalu banyak. Aku berada di saf terdepan. Usai salam. Aku dikagetkan dengan tepukan di pundakku.

“Aidil?”

Aku menoleh. Benar saja. Rupanya itu Guru Kohar.

“Ada kegiatan apa ke daerah sini?”

Aku kikuk ingin menjawab apa. Ingin berkata, tapi tertahan. “Sudah, ikut dulu dengan saya, Dil!” Guru Kohar langsung menyuruhku.

Digiringnya aku menuju rumah yang letaknya di sebelah kanan mushala. Rumah itu berdinding bilik. Mungkin lebih kecil dari luas mushala. Catnya pudar. Dari luar bangunannya tampak hanya ada tiga petak. Masuklah aku ke dalamnya.

“Ini rumah Pak Kohar?”

“Iya, Dil, ini rumah Bapak,” ketakjubanku pada sosok ini lantas begitu kuat. Guru yang selama 25 tahun mengabdi, bisa sahaja dalam hidup walau menetap dalam rumah semungil ini. Guru Kohar pamit menuju ruang belakang. Selang kemudian menyajikan air teh hangat untukku.

“Bapak jangan repot-repot!” tegasku.

“Tidak apa-apa, Dil, jadi maksud apa kau hendak ke daerah ini?”

Aku menelan ludahku dalam-dalam, “Begini, Pak, tadi di sekolah, Bapak minta kami untuk menulis tentang momen tak terlupakan, kan?” Ia mengangguk.

“Sebenarnya aku menulis tentang sosok Bapak dan kacamata Bapak, maaf ya, Pak,” Guru Kohar tertawa kecil.

“Iya tak apa-apa, sebenarnya ada apa dengan kacamata saya? Kan sama saja fungsinya dengan kacamata yang lain, bukan?” Aku yakin Guru Kohar sudah tahu maksudku. Ia masih belum terbuka.

“Pak Kohar selalu mengenakan kacamata itu dari awal mengajar di sekolah kan, pasti barang itu amat berkesan,” Guru Kohar tersenyum. Dicabutlah kacamata dari wajahnya. Ia tiup sisi kacanya, lantas mengelapnya dengan baju. Ia diam. Matanya berkaca-kaca.

“Jadi itu alasanmu datang kemari?” Aku mengangguk.

“Baru kali ini ada murid yang datang ke rumahku, Dil, mungkin mereka tak nyaman dengan guru yang sebentar lagi akan pensiun ini.”

Ia ambil segelas teh hangat di meja, sesekali meminumnya. Seperti ada air yang menetes di matanya.

***

Tiga puluh tahun yang lampau, Kohar Muda mulai menyusun nasib dengan menyerap ilmu di Sekolah Guru. Hari-harinya adalah masa depan yang cerah.

Hampir semua buku di perpustakaan ia lahap habis. Mulai dari roman, puisi, sampai tulisan-tulisan serius yang ditulis Tan Malaka dan Soekarno.

Sekolah Guru itu setara SMK jika saat ini. Lulusan-lulusannya bisa langsung jadi guru. Kebahagiaannya kian sempurna sebab ada kekasih yang mendukungnya. Gadis manis berambut panjang. Tubuhnya langsing. Kulitnya putih bersih. Bibirnya merah.

Teman-teman Kohar menyebut jika ia amat beruntung mendapatkan gadis itu. Gadis itu teman sekelas Kohar kala di sekolah menengah.

Sampai saat Kohar diterima mengajar sebuah di sekolah, terbesit kehendak untuk meminang gadis itu. Kohar Muda amat percaya diri, ia memberanikan diri datang ke rumah gadis manis. Sayang, kedua orang tua gadis tak setuju memiliki menantu guru.

“Kau beri makan apa anakku nanti? Makan buku? Makan ilmu? Semua tak hanya cukup dengan cinta,” katanya.

Kohar muda amat sedih. Hatinya patah. Rapuh. Sampai ia mendapat kabar jika gadis manis itu dijodohkan dengan pengusaha.

Gadis manis mengajak Kohar bertemu untuk terakhir kalinya. Dengan patah hati, Kohar memberanikan diri.

Gadis manis itu memberikan kacamata sebagai kenang-kenangan terakhirnya. “Kau akan tampak lebih gagah bila menggunakan kacamata ini saat membaca.”

Kohar muda menangis. Tak kuasa membendung isi hatinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement