Kamis 03 Oct 2019 12:11 WIB

Esensi Kesaktian Pancasila

Sering kali momen 1 Oktober Kesaktian Pancasila hanya terasa di lisan semata

Warga Temenggungan, Kelurahan Panjang, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, menggelar upacara Hari Kesaktian Pancasila, di lingkungan mereka, Selasa (1/10). Upacara ini untuk mambut tenggat waktu pengosongan rumah oleh PT KAI.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Warga Temenggungan, Kelurahan Panjang, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, menggelar upacara Hari Kesaktian Pancasila, di lingkungan mereka, Selasa (1/10). Upacara ini untuk mambut tenggat waktu pengosongan rumah oleh PT KAI.

Pada tanggal 1 Oktober 2019 kemarin, seluruh elemen masyarakat di Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Tentu, momen ini juga mengingatkan kembali pada tragedi kekejaman yang pernah terjadi di tahun 1965, yakni Gerakan 30 September yang biasa disingkat Gestapu atau Gestok itu sendiri.

Hari ini pun dimaknai sebagai tragedi pengkhianatan dalam usaha perubahan ideologi bangsa. Namun, hal yang lebih utama lagi adalah bagaimana ideologi bangsa mampu terinternalisasi dalam individu. Lantas, bagaimana dengan realitanya?

Jawaban yang pasti, Pancasila belum sakti. Kenapa? Agaknya sama dengan tahun sebelumnya, momen Kesaktian Pancasila masih terasa di lisan semata. Banyak sudut- sudut negeri yang masih mengalami ketidakadilan dan keputusasaan. Korupsi yang membudaya, anarkisme massa dimana- mana serta penghianatan para elite politik tampaknya masih memenuhi atmosfir bangsa Indonesia itu sendiri. 

Masih segar di ingatan sebagian elemen masyarakat, momen terbangunnya mahasiswa. Serentetan aksi yang dilakukan pada bulan September kemarin tampaknya membuat mahasiswa lain bahkan apatis sekalipun turut tersadar bahwa bangsa Indonesia tengah berada dalam kondisi yang carut marut. Tak tanggung- tanggung, di beberapa kota besar, lautan mahasiswa berkumpul menyuarakan aspirasinya.

Hal ini nyatanya cukup membuat para pemangku kebijakan menjadi gentar. Sehingga, hasil daripada kegentaran ini direspon dengan cara yang kurang baik di beberapa titik kumpul aksi.

Dilansir dari berbagai media massa, banyak dari aksi mahasiswa diwarnai dengan kekerasan yang dilakukan aparat seperti adanya penyiraman water canon, dipukuli, hingga berujung terenggutnya nyawa mahasiswa dari kampus ternama. Ironi memang, ketika bangsa punya idealitas bahwa aspirasi akan selalu dijunjung tinggi, namun kenyataannya malah sarat persekusi. 

Di saat yang sama, kepiluan ibu pertiwi semakin menyayat hati dengan kisah tragedi pilu yang terjadi di Wamena (23/09/2019). Bahkan, para warga sipil turut menyaksikan kekejaman dan kebengisan para massa yang membakar, membunuh bahkan menganiaya dengan keji siapapun yang tidak berada di pihaknya.

Bahkan, Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius membenarkan adanya peristiwa rusuh yang terjadi di Wamena dalam pesannya kepada salah satu media massa. Komposisi massa sendiri terdiri dari pelajar dan masyarakat dengan tujuan untuk menolak rasisme.

Dilansir dari Republika.co.id (30/09/2019) berdasarkan data dari Komnas HAM, tercatat korban yang tewas sejumlah 31 orang. Sedangkan korban yang mengalami luka- luka, tercatat sejumlah 43 korban dimana mereka juga mengalami cedera yang serius semacam gegar otak, patah kaki, dan lain-lain. Sungguh ironi, tragedi ini terjadi bukan dikarenakan pihak asing tengah mengajak perang fisik bangsa tercinta, melainkan dilakukan putra bangsa sendiri. 

Namun, sudah menjadi rahasia umum, bahwasannya kasus Wamena bukan hanya sebuah perkara masalah ”rasisme” belaka, melainkan adanya faktor besar turut menungganginya. Jelas saja, akan ada orang yang diuntungkan dengan gerakan brutal massal ini.

Pun, hal ini diperkuat dengan adanya pemberitaan terkait para provokator alias perusuh yang tertangkap beberapa hari setelah tragedi Wamena berlangsung. Dilansir dari media CNN Indonesia (30/09/2019) berdasarkan pengkajian, Bapak Menkopolhukam, Wiranto, menyatakan bahwa kerusuhan di Wamena diprakarsai oleh kelompok OPM yang bersinergi dengan Ketua ULMWP ( United Liberation Movement for West Papua) yang bertujuan untuk menarik perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sedang menggelar sidang terkait HAM di Swiss dan New York.

Exactly, ini adalah ancaman yang nyata karena bangsa sedang dijerat untuk masuk dalam lingkaran masalah disintegrasi bangsa.  Dari aksi mahasiswa pun kita tersadar, carut marutnya kondisi bangsa muaranya dikarenakan masih banyak para pemangku kebijakan yang tak pernah menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai pertimbangan, melainkan kepentingan para kapitalis semata.

Pun dari tragedi Wamena kita tahu bahwasannya bangsa tercinta sedang ditarget menuju permasalahan disintegrasi bangsa. Jelas, keduanya merupakan ancaman yang nyata sekaligus merongrong Tentu, akan ada orang yang diuntungkan dari perpecahan wilayah ini.

Harusnya, kedua fenomena diatas bisa kita jadikan refleksi atas implementasi ideologi bangsa itu sendiri. Pancasila kini yang dipuja, seakan- akan hanya dihadirkan untuk diperdebatkan di kalangan cerdik pandai saja. Pun, kadang tak mengakar dan membumi pada kehidupan nyata. Kehadirannya lebih sering dijadikan bahan diskusi, namun kenyataannya minim eksekusi dalam mengatasi semacam aktivitas pemberontakan OPM di Papua. 

Di sisi lain, entah apa yang terjadi, tampaknya fokus negeri mengalami pergeseran. Bukannya malah gencar memerangi faktor nyata pengancam ideologi, malah yang lebih santer yakni melirik istilah semu, radikalisme, dimana definisinya sendiri pun mengalami multi tafsir.

Hal ini ditengarai dengan semakin massifnya pembahasan radikalisme dalam berbagai kesempatan termasuk adanya program khusus deradikalisasi kampus maupun penyebaran melalui media massa itu sendiri. Anehnya lagi, muara daripada istilah radikalisme selalu dikaitkan dengan kefanatikan seseorang terhadap agama Islam. Istilah sederhananya “Islam Radikal”.

Pun aktivitas semacam jihad dan istilah khilafah misalnya, masuk sebagai contoh implementasi daripada radikalisme atau indikasi seseorang itu radikal. Bahkan data dari BNPT menyatakan persentase mahasiswa yang dijadikan target sasaran ideologi radikal yang berada pada tingkat “hati- hati” sebanyak 20,3 persen.

Tak ayal, sempat menjadi perbincangan hangat ketika sejumlah aksi mahasiswa kemarin dituding oleh salah satu aparat pemerintahan sebagai bagian dari aksi yang ditunggangi gerakan Islam radikal. Padahal, nyatanya bukanlah demikian. 

Oleh karena itu, negeri kita perlu bergeser secara pemikiran dan perlu beralih pada apa yang menjadi akar permasalahan bangsa itu sendiri, bukan sibuk saling tuding- menuding keterlibatan gerakan, ormas maupun komunitas terhadap istilah radikalisme.

Selama ini, pergerakan doktrinasi mengenai radikalisme massif dilakukan. Idealnya, perlu adanya diskursus mengenai definisi dan substansi dari radikalisme itu sendiri antar elemen masyarakat sehingga tidak menyebabkan adanya standar ganda. Malah selama ini yang lebih massif dilakukan yakni doktrinasi atas istilah radikalisme itu sendiri. 

Pengirim: Nor Rahma Sukowati, Mahasiswa dan Koordinator Desain Move Up Community

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement