Senin 14 Oct 2019 16:05 WIB

Siapa Pengkhianat Negara yang Sesungguhnya?

Pengkhianat negara yang sesungguhnya adalah koruptor yang justru dipilih rakyat

Koruptor (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Koruptor (ilustrasi)

Berasa nano nano ketika mendengar statemen Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu ketika tampil sebagai pembicara utama dalam acara Dinamika ( Studi Perdana Memasuki Kampus ) di PKN STAN.

Dalam pidatonya, Sri Mulyani kembali menekankan agar semua yang telah lulus dan masuk sebagai mahasiswa di PKN STAN untuk tidak mengkhianati negara. Apalagi seluruh biaya selama menempuh pendidikan di PKN STAN akan dibiayai oleh negara.

Ini adalah statemen yang tidak tepat jika ditujukan ke mahasiswa. Semestinya statemen ini ditujukan kepada para koruptor yang merampok uang rakyat. Karena faktanya,  para mahasiswa umumnya membayar sendiri biaya kuliahnya. Kalaupun dibiayai seperti di PKN STAN ini, tetap pada hakekatnya dibiayai oleh uang rakyat bukan oleh uang negara.

Beda dengan para koruptor yang nyata-nyata merampok uang rakyat. Justru mereka ini yang sangat pantas disebut pengkhianat negara, bukan?. Mereka digaji oleh negara, hidup dari uang negara, tapi mereka malah menusuk dari belakang, merampok uang negara.

Kasus korupsi di Indonesia seperti tidak ada matinya. Mulai kasus kelas teri hingga kelas hiu pun terungkap. Satu per satu kepala daerah hingga politisi pun terciduk KPK.

Kita tentu tidak lupa bagaimana mega skandal korupsi Bank Century, lalu berlanjut dengan kasus korupsi dana Hambalang yang menyebabkan beberapa pejabat dan politisi menjadi korban dan harus rela menyandang gelar koruptor. Dan yang terbaru dan tak kalah fenomenal adalah kasus korupsi E-KTP yang hingga kini kasusnya masih bergulir. Belum lagi kasus kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah yang tak kalah memprihatinkan.

Begitu sangat menggurita kasus korupsi di Indonesia. kekuasaan untuk memimpin ini hanya hanya bagi yang bermodal, entah modal pribadi ataupun dari para sponsor yang tentunya tidak gratis. Modal untuk berkuasa pun tidaklah murah. 

Tak ayal lagi, kekuasaan yang didapat hanya jalan untuk mengembalikan modal secepat mungkin, perkara mengurusi dan melayani rakyat itu soal nanti. Jangankan untuk menjadi kepala negara atau kepala daerah, bahkan untuk sekedar jadi kepala sekolah atau kepala dinas di suatu instansi pun sudah dipasang tarif yang fantastik. Masih ingatkan kasus Bupati Klaten non aktif Sri Hartini tahun lalu yang terbukti melakukan jual beli jabatan. Sungguh Demokrasi menjadi jalan tol bagi tindak pidana korupsi.

Pengirim: Zidna Fauzul Adhimah, Kota Malang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement