Rabu 09 Oct 2019 22:21 WIB

Berjuang menuju Perubahan Hakiki

Umat Islam perlu bersatu mengesampingkan perbedaan menuju perubahan hakiki

Jutaan Jamaah Aksi Bela Islam III menjelang pelaksanaan Shalat Jumat memadati area Monumen Nasional Jakarta, Jumat (2/12).
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Jutaan Jamaah Aksi Bela Islam III menjelang pelaksanaan Shalat Jumat memadati area Monumen Nasional Jakarta, Jumat (2/12).

Seringkali orang nyinyir atas perjuangan umat Islam yang membawa massa dalam jumlah besar. Mereka selalu mengatakan dengan nada sinis bahwa hal tersebut tidak akan membawa dampak signifikan, justru membawa kemalangan. Macetnya jalan, pingsannya para peserta aksi, sampah menggunung dan yang paling menyakitkan adalah komentar 'kurang kerjaan'. Perjuangan yang mereka upayakan dipandang sebelah mata.

Adalah fenomena aksi 212 yang berhasil mendatangkan masa sejumlah tujuh juta orang saat protes keras penista agama tidak segera diadili. Lalu saat insiden pembakar bendera Tauhid saat hari santri tak jua di seret ke pengadilan. 

Umat Islam selama ini menjadi pihak yang selalu tersudutkan. Harus mengerahkan banyak energi untuk memperjuangkan hak dan melawan penistaan yang terus dilakukan oleh para pembencinya, meski hidup ditengah mayoritas muslim.

Namun itulah intisari perjuangan yang diwariskan oleh penghulu negeri ini dan pembebas masa jahiliyah di Mekkah. Perjuangan menuju Haq dan menumpas kebathilan harus senantiasa dijaga. Untuk itu perlu upaya signifikan memahami gejolak perjuangan dan kesadaran perjuangan menuju perubahan yang hakiki.

Mengawal agenda umat adalah penting, memahami persoalan umat diperlukan, agar perjuangan yang dilakukan tidak sia-sia, tidak dibajak dan tidak dimanfaatkan pihak tertentu atau sekedar mengerahkan jumlah massa untuk berkumpul tanpa memahami apa yang diperjuangkan.

Umat ini satu, kiblatnya satu dan yang disembah juga satu. Maka perjuangan yang akan diwujudkan juga seharusnya satu, tidak berbeda.

Hari ini saat umat Islam terpecah dalam banyak kelompok, tidaklah menjadikan perbedaan sebagai batu halangan untuk bersatu. Kita paham,  dahulu Rasulullah menyatukan suku Aus dan Khazraj di Madinah dengan mahum Islam yang satu.

Pada Khalifah pengganti Rasul SAW juga melakukan hal yang sama saat menyatukan suku-suku diluar jazirah Arabiya. Persia dan Rum Timur juga disatukan dalam satu kesatuan kepemimpinan. Islam menyatukan banyak suku, ras, bangsa dan agama di dunia. Tidakkah itu membahagiakan? Tidakkah itu menjadi bukti bahwa keragaman adalah rahmat bagi seluruh alam? Lalu bagaimana masih ada sejumlah umat Islam yang justru pesimis bahwa umat Islam mampu mewujudkan perubahan hakiki?

Inilah tantangan perjuangan umat di milenium ketiga. Tantangan yang membutuhkan konsentrasi dan upaya keras untuk menyatukan kesadaran Keislaman ditengah arus ideologi kaum Barat yang telah rapuh dimakan zaman. Harus terus menggenggamnya dengan kuat agar tidak terlepas. Umat Islam perlulah mengesampingkan perbedaan selama bukan persoalan akar, maka yakinlah perubahan itu lambat laun akan dimengerti oleh umat.

Maka pandangan negatif, nyinyiran dan sinisme akan berangsur-angsur menghilang berganti dengan kemuliaan dan kekaguman. Maka cita-cita perjuangan otomatis juga akan berhasil dengan gemilang. Wallahu'alam bisa Showab

Pengirim: Dwi Agustina Djati, tinggal di Semaang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement