Senin 07 Oct 2019 05:35 WIB

Pedas Manis

Aku tidak cemburu sepanjang waktu karena akan banyak lelaki yang memandang wajahmu.

Pedas Manis
Foto:

Aku pun mulai mengamalkan anjuran dari sahabatku itu, dan saran dari calon istriku Nadia. Dua-duanya menyarankan padaku agar banyak berdoa. Aku jadi ingat keistiqamahan Nabi Ibrahim yang berdoa berpuluh-puluh tahun kepada Allah, Rabbi habli minasshalihiin agar dikaruniai seorang anak yang saleh. Akhirnya istrinya yang divonis mandul bisa memberinya keturunan juga. Begitulah hebatnya doa. Aku pun mulai banyak berdoa di setiap sujud.

Saat ziarah ke Masjid Sayyidina Husain, aku bertawasul lewat makam cucu baginda Rasul, kuutarakan niatku agar Allah melunakkan hati ibu. Aku mulai banyak bersedekah, hampir tiap pengemis dan tuna wisma, kuberi sepeser dua peser pound yang aku punya, tak lupa kuminta doa pada mereka.

"Tolong doakan agar hati ibuku lunak, aku ingin menikah."

"Aamiin." Jawab para pengemis di pinggir jalan itu. Aku shalat Hajad, Tahajud, dan Dhuha. Aku banyak bershalawat, berzikir demi mendapat ridha ibuku. Karena kalau ibuku ridha, tentu Allah juga ridha.

Semuanya adalah melalui dan minta pada Allah. Aku tak kenal lelah. Satu bulan ke mudian aku pun memberanikan diri menelepon ke ibu. Setelah shalat Tahajud, aku mencabut handphone-ku dari charger.

Sebab kalau di Mesir jam setengah tiga, berarti di Indonesia sudah setengah delapan. Tentu ibuku sudah selesai masak pagi dan sedang santai di depan rumah atau di ruang tamu.

"Apa kabar kamu anakku, Musa? Sudah lama tidak menelepon."

"Ada apa?"
 
"Ibu rindu kamu, nak."

"Ya, Mak, Musa juga rindu. Musa sehat, Mak." Belum sempat aku memulai topik tentang menikah, ibuku sudah memulainya.

"Pulanglah, Nak. Ayo kita melamar Nadia calon menantu, Mamak."

"Hah? Mamak serius? Cepatlah pulang selagi hati Mak sedang lunak."

"Alhamdulillah Ya Alllah. Terima kasih, Mak. Baiklah minggu depan aku pulang, mumpung sekarang musim panas dan kami libur panjang."

Sungguh bukan main senangnya aku! Seakan dunia ini adalah milikku seorang! Seakan aku baru merdeka dari jajahan Belanda atas Indonesia! Tidak dapat kugambarkan kebahagiaanku yang sebentar lagi jadi pengantin dan meminang gadis Jawa.

Soal kenapa aku suka gadis Jawa? Tidaklah sesingkat aku mengenal Nadia karena buku. Namun, memang sejak aku masih kelas satu SMP dulu, sejak aku sudah umur belasan, aku telah kagum pada gadis Jawa.

Ada beberapa faktor. Pertama, karena ustazah-ustazahku yang dari Jawa kulihat ciri kecantikannya berbeda. Ada manis-manisnya saat mereka tersenyum, persis seperti Nadia saat mengunggah fotonya di akun Instagram.

 
Kedua, karena tutur katanya yang menurutku amat lembut, tidak terasa keras dan kasar seperti orang Sumatra pada umumnya, meskipun memang orang Sumatra adalah kebanyakan Melayu. Kami orang Kuta Cane, Aceh Tenggara, jugalah mirip-mirip cara bertutur kata orang melayu.

Ketiga, karena memang aku ingin berbeda dengan abang-abangku yang semuanya menikah dengan satu daerah, desanya dekat-dekat pula. Aku sendiri ingin punya istri orang jauh.

 
Dulu tahun pertama sampai di Al-Azhar Mesir, aku ingin sekali istriku orang Mesir. Namun, sulit untuk dimungkinkan karena orang Mesir seleranya tinggi! Aku penuh kekurangan, hitam, kurus, dan pesek. Hanya satu modalku, yaitu tinggiku.
 
Sepekan kemudian aku pun pulang ke Aceh Tenggara. Aku disambut keluargaku begitu istimewa sehingga rumah kami penuh. Sepertinya ibu mengundang satu desa ke rumah. Sedangkan aku tidak bawa oleh-oleh apa pun, hanya bawa badan dan pakaianku dalam tas rensel. Padahal ini adalah hari pulang pertama kali setelah tiga tahun belajar di Mesir. Dua hari di rumah, aku, ayahku, ibuku, bambkhuku datang ke Jawa untuk melamar Nadia.

"Kenapalah jauh kali ke Jawa jodohmu, Musa?"

 
"Mak, usahlah ditanya lagi. Katanya Mamak sudah setuju."

"Ya Mamak sudah setuju, tapi kenapa mesti orang Jawa? Orang Kuta Cane kan banyak Nak?"

 
"Banyak, tapi tidak seperti Nadia, Mak."

"Apanya yang tidak seperti Nadia? Rupanya, alisnya, senyumnya, putihnya, hidungnya, matanya. Emang kamu pernah ketemu dengan Nadia sebelumnya?"

 
"Belum pernah, tapi kan aku sudah tunjukkan fotonya ke Mamak."

"Nak, zaman sekarang masih percaya sama foto. Sekarang ini semuanya palsu, tidak ada yang asli. Memanglah fotonya yang cantik pula dia pilih untuk dikirim ke kamu agar kamu tergoda."

"Mak, tidak boleh buruk sangka, kuyakin aslinya lebih cantik, Mak."

Tiba-tiba kudengar suara ayahku dari kursi duduk belakang. "Udah, Mamakmu memang begitu, usah disahuti. Nanti kalau dia sudah bosan mengomel dia akan berhenti sendiri."

 
Kami pun tiba di Bandara Abdurrahman Saleh, kulihat ibu diam. Ibuku mengikuti jejak langkah kami.

Walaupun senyumnya belum manis. Aku mengikuti rute sesuai dengan yang Nadia berikan. Benar memang, aku belum pernah ketemu Nadia, tapi aku yakin dia tidak berbohong, soal lamaranku ini sudah aku pastikan akan diterima ayahnya 100 persen.

Karena memang Nadialah yang memaksaku agar segera menikahinya dan dia sudah memberi tahu ayahnya terlebih dahulu.

Awal mengapa aku bisa kenal dengan Nadia adalah karena buku. Dia meresensi bukuku yang diadakan oleh penerbit. Dialah juara satunya. Mengapa aku bisa jatuh cinta padanya? Karena dia adalah kriteriaku. Dia suka membaca dan dia jugalah suka menulis, dan satu lagi dia kuliah kedokteran.

Ingin sekali aku punya istri seorang dokter. Alasan mengapa dia suka padaku? Husnuzanku adalah karena dia suka tulisanku.

Kedua, karena aku kuliah di Al-Azhar. Namun, aku sering beralasan lain saat dia tanya mengapa aku bisa jatuh cinta padanya.

Tidak berapa lama kami pun sampai di Kampung Pakis, taksi yang kami tumpangi tiba di depan rumah Nadia yang di pinggir jalan. Kami disambut oleh keluarga Nadia.

Sambutan yang luar biasa, santun, ramah, indah, dan bahagia. Ayah dan bambkhuku duduk di ruang tamu. Aku dan ibu dipersilakan masuk ke dalam kamar kosong yang sudah disediakan. Ibu lelah dan ia baringan, tiba-tiba ibu bicara setelah kian lama ia membisu sejak dari bandara tadi.

"Ramah betul orang Jawa, Nak. Tidak sia-sia kamu cari istri orang Jawa."

Alhamdulillah, komentar pertama ibuku begitu mantap. Itu adalah pertanda hatinya makin lunak karena terkesan dengan tutur kata keluarga Nadia, itulah kesan pertama ibu.

Aku pun langsung menelepon Nadia, aku belum melihatnya, padahal aku sudah ada di dalam rumahnya. Tadi waktu di taksi aku chating-an dengannya minta diarahkan ke alamat rumahnya, sebenarnya sopir taksi sudah tahu. Teleponku tidak dia angkat.

"Dik, kamu di mana? Aku sudah sampai di rumahmu." Pesanku via Whatsapp.

"Ini aku di kamarku, Mas. Persis di samping kamar yang Mas tempati."

"Keluarlah kalau begitu."

"Aku malu, Mas."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement