Sabtu 05 Oct 2019 07:41 WIB
Catatan HUT TNI Ke-74

Sejarah Terbentuknya TNI dan Alasan Soedirman Jadi Panglima

Soedirman terpilih menjadi panglima TNI mengalahkan Oerip Soemoharjdo.

Jenderal Soedirman tiba di Jakarta pada tanggal 1 November 1946.
Foto:
Laskar Hizbullah dengan bendera tauhidnya dalam parade di Markas Besar TKR/BKR di Yogyakarta pada masa perjauangan kemerdekaan

Pada 1942 di mana Indonesia diambil alih oleh Jepang para perwira KNIL tersebut beranggapan mereka dibebaskan tugas dari Belanda. Sekelompok opsir KNIL lainnya, yang dapat dibedakan dengan kelompok yang pertama sangat bergairah masuk ke dalam Angkatan Bersenjata Republik.

Ulf menulis ketika pembentukan TKR diumumkan, pada hari itu pula bekas Mayor KNIL Oerip Soemoharjdo yang telah pensiun sejak 1938 diangkat sebagai Kepala Markas Besar Umum TKR. Karena mantan pasukan PETA, terutama dari Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak menyukai opsir bekas KNIL, Oerip Soemohardjo ia tidak diangkat sebagai seorang panglima tentara. 

Panglima tentara diberikan kepada Suprijadi, pemimpin legendaris dan pemberontakan PETA di Blitar. Tapi pengakatan tersebut hanya simbolis. Karena sejak pemberontakan pada Februari itu Suprijadi tidak pernah terlihat lagi.

photo
Jenderal Soedirman

Selain pembentukan struktur pusat dibentuk juga komandemen di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka bertanggungjawab melakukan komando taktis atas kesatuan-kesatuan TKR. Badan-badan kelaskaran juga dikelompokan menjadi resimen dan divisi. Enam divisi dibentuk di Sumatra, tiga di Jawa Barat, empat di Jawa Tengah, dan tiga di Jawa Timur. 

Ketika pasukan sekutu mendarat dan bergerak ke pedalaman untuk melucuti garnisun-garnisun Jepang, TKR mendesak pemerintah agar segera mengisi jabatan panglima tentara dan menteri pertahanan. Karena pemerintah tidak menanggapi permintaan TKR, pada tanggal 12 November Oerip Soemoharjo memanggil semua panglima divisi dan resimen TKR untuk menghadiri rapat di Yogyakarta. Kota Pelajar dipilih setelah markas TKR di Jakarta diduduki tentara Sekutu. 

Dalam rapat tersebut pokok pembicaraan yang utama mengenai jabatan pimpinan Markas Besar TKR dan Kementerian Keamanan. Dalam rapat tersebut seorang opsir bekas PETA, Soedirman dipilih menjadi panglima TKR. Ulf menulis setelah pengangkatan Panglima Soedirman, Oerip mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai kepala staff Markas Besar TKR.

“Rupanya Oerip pada mulanya berharap terpilih untuk menduduki jabatan puncak itu. Dia jauh lebih tua daripada Soedirman yang ketika itu baru berusia 33 tahun, dan tak diragukan lagi dia merupakan perwira staf yang paling memenuhi persyaratan yang tersedia di Indonesia. Tetapi, latar belakang militernya sebagai seorang bekas opsir KNIL membuat dia dicurigai oleh banyak perwira TKR yang lebih muda, yang tidak bersedia memberikan kepercayaan penuh kepada orang-orang yang pernah mengabdi kepada Belanda,” tulis Ulf. 

Sementara itu, Soedirman bukan orang yang dapat dicurigai memiliki simpati tersembunyi terhadap Belanda. Sebagai mantan guru, Soedirman juga memiliki prestise sosial yang tinggi.

Sebagai seorang Muslim yang taat ia juga disenangi oleh korps perwira yang beragama Islam. Soedirman juga dipercaya memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai mistik dan nilai-nilai tradisional Jawa. Karena itu ia juga memiliki daya tarik yang besar untuk perwira Jawa yang besar jumlahnya. 

Di zaman pendudukan Jepang, Soedirman juga ikut dalam dewan-dewan daerah di Jawa Tengah, sehingga ia juga mempunyai pengalaman di politik. Soedirman juga pernah menjadi seorang opsir termuda yang memimpin batalyon PETA. Tapi ia tidak pernah menjadi boneka Jepang. Setelah proklamasi ia segera melucuti semua pasukan Jepang di daerah asalnya, Banyumas, Jawa Tengah. 

“Karena itulah ia dapat membagikan senjata kepada kesatuan-kesatuan BKR yang kurang lengkap persenjataannya,” kata Ulf. 

Dosen University of Queensland ini menulis Soedirman terkenal setelah memukul mundur pasukan Inggris di Ambarawa. Selain Soedirman, Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri keamanan.

Dengan mengalirnya pasukan Belanda yang membonceng tentara Inggirs, Indonesia mulai mengambil sikap simbolis yang lebih militan. Pada 1 Januari 1946 Kementerian Keamanan diubah namanya menjadi Kementerian Pertahanan. Dengan perubahan nama ini Kementerian Pertahanan dapat tanggungjawab yang lebih luas.

Dalam waktu yang bersamaan TKR diubah namanya menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Tapi nama ini pun belum memuaskan. Sehingga pada 24 Januari 1946 TKR diubah lagi namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Saat itu dibentuk pula sebuah Panitia Besar untuk Reorganisasi Tentara dengan Letjen Oerip Soemarhardjo sebagai ketuanya. Tugas panitia ini untuk meningkatkan efisiensi tentara. 

Pada 17 Mei 1946 panita ini menyampaikan hasil kerja kepada Kabinet. Mereka merekomendasikan suatu reorganisasi dari Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara. Berdasarkan reorganisasi itu Kementerian Pertahanan akan memperoleh kedudukan yang cukup kuat dengan mendapatkan fungsi-fungsi yang biasanya dilakukan oleh Markas Besar Tentara. 

Rapat yang kedua diadakan pada tanggal 23 Mei. Rapat ini dihadiri oelh para perwira Markas Besar dan semua panglima divisi dan resimen. Rapat tersebut menyambut baik rekomendasi dan pengakatan kembali Oerip sebagai Kepala Staf Markas Besar Tentara. 

Hasil yang dicapai dari rapat tersebut enambelas divisi yang ada diciutkan menjadi sepuluh. Jumlah resimennya juga dikurangi dan dikelompokan kembali ke dalam brigade-brigade. Tiap divisi dan brigade diberi nomor dan nama yang berkaitan dengan sejarah prakolonial serta mitologi Indonesia. Sejak saat itu para panglima serta kepala stafnya dipilih oleh sidang perwira senior.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement