Sabtu 05 Oct 2019 08:23 WIB

Dahler dan Jepang Jernihkan Kasus Thamrin-Tabrani

Setelah Thamrin meninggal, tuduhan dialamatkan kepada Tabrani sebagai biangnya.

Diskusi membahas tentang MH Thamrin
Foto: Priyantono Oemar/ Republika
Diskusi membahas tentang MH Thamrin

Oleh: Priyantono Oemar

Apa isi kesaksian PF Dahler yang ia tanda tangani pada 1 Oktober 1942 dan hasil penyelidikan polisi rahasia Jepang tentang kasus yang bikin heboh di tahun 1941 itu?

Menurut Ongkhokham, tak ada yang percaya pada alasan yang dipakai pemerintah untuk menangkap Thamrin. Alasan yang dipakai adalah: surat Thamrin kepada Tabrani bernada subversif.

Onghokham lantas menyebut buku SL van der Wal yang berisi surat-menyurat Van der Wal, De Volksraad en de Staatkundige Ont wikkening van NI een Bronnen Publikatie, Tweede Stuk 1927-1942. "Thamrin sudah sejak lama dibenci dan didakwa mempunyai hubungan-hubungan subversif dengan Jepang," tulis Onghokham mengutip Van der Wal.

Bob Hering mengutip HJ Levelt dan HJA Vermijs yang menyebut Thamrin, Ratulangi, perlu terus diawasi. Levelt adalah Wakil Pemerintah untuk Urusan Umum di Volksraad (Regeerings Gemachtide voor Algemeene Zaken, RGAZ) dan Vermijs adalah Wakil Kepala Jawatan Investigasi Umum (Algemeene Recherche Dienst, ARD).

Baca Juga: Benarkah Tabrani Mengkhianati Thamrin?

Levelt juga menyebut mulai 10 Mei 1940 Thamrin terlihat sangat berhati-hati dan menutupi kegiatannya. Vermijs menyebut surat van der Plas 6 Mei 1940 yang ditujukan kepada Jaksa Agung AS Block tentang kegiatan sejumlah tokoh yang pro-Jepang berdasarkan laporan polisi 18 April 1940.

Nota setebal 103 halaman khusus tentang Thamrin dijadikan dasar oleh AS Block untuk menempatkan Thamrin sebagai tokoh yang "tidak setia dan mempengaruhi yang lain untuk mengikutinya". Kepada Gubernur Jenderal AWL Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Block membuat laporan Thamrin telah bertindak ilegal, tidak berbeda dengan perlawanan orang Eropa terhadap rezim Nazi. Bob Hering memberi catatan bahwa laporan Levelt dan Vermijs kepada Jaksa Agung hanya berdasarkan kabar angin dan laporan berat sebelah dari aparat spion pribumi dari ARD.

Ratulangi dan Douwes Dekker juga ditangkap setelah Thamrin. Setelah Ratulangi dibebaskan, pertanyaan pun muncul sejauh mana tindakan subversif Thamrin di surat itu menurut hukum Hindia Belanda. "Persoalan hubungan dengan Jepang saja belum tentu subversif. Surat pribadi pada Tabrani lebih-lebih tidak berarti apa-apa,'' tulis Onghokham.

Pers Belanda dan Indonesia, tulis Onghokham juga menulis dengan tajam kasus Thamrin-Tabrani ini. "...tidak mungkin kalau surat pribadi yang ditulis pada Tabrani dijadikan alasan-alasan untuk mengambil tindakan terhadap Thamrin."

Bob Hering menyinggung kasus Thamrin-Tabrani ini di buku Mohammad Hoesni Thamrin (Hasta Mitra, 2003). Baik Onghokham dan Hering, keduanya sama-sama menyertakan isu yang dulu muncul seputar kasus Thamrin-Tabrani ini. Di masa itu, apalagi setelah Thamrin meninggal, tuduhan dialamatkan kepada Tabrani sebagai biangnya. Tetapi, semua itu hanya berdasar isu.

Koran Tjaja Timoer misalnya, menulis kasus ini juga tidak berdasar bukti-bukti otentik, melainkan hanya berdasarkan isu yang beredar. Bataviaasch Nieuwsblad yang mengutip Tjaja Timoer memberi catatan di laporannya "jika kita mempercayai laporan Tjaja Timoer".

Tradisi asal hantam menjadi keseharian di kehidupan pers saat itu. Pers Belanda yang sering menuduh tanpa bukti kepada warga Indonesia, dibalas serupa pula oleh pers Indonesia. Maka, jurnalis Indonesia terbiasa pula asal serang, sehingga sering ada kasus pemberedelan.

Pada kurun 1931-1936, ada 27 koran diberedel. Yang terbanyak diberedel, menurut Soedjarwo Tjondronegoro di laporan Pers Indonesia dan Pergerakan Nasional Memperingati 50 Tahun Perhimpunan Indonesia, November 1938, adalah pers Indonesia. Ini pukulan mematikan bagi pers Indonesia yang modalnya lemah. Laporan ini dimuat ulang di buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok (Jayasakti, 1981).

Soedjarwo mencatat pers Indonesia di masa pergerakan "...tidak bebas dari apa yang dinamakan ekses-ekses, tak usah disanksikan lagi. ...Tertegun-tegun dan tersandung-sandung pers nasional pada waktu itu mencari jalannya, dengan kerja keras dan bergulat berusaha untuk merebut tempat yang sebenarnya sudah merupakan haknya."

Pemandangan, koran Tabrani, juga pernah diberedel selama sepekan, 17-24 Mei 1940. Begitu terbit lagi pada 25 Mei, peristiwa-peristiwa besar selama sepekan, ringkasannya dimuat dalam satu halaman.

Persatuan Djurnalis Indonesia (Perdi) sempat membahas kasus Tabrani, namun tak tuntas karena Tabrani memilih mengundurkan diri dengan dalih sebagai pejabat di RPD, ia tak boleh bernaung di salah satu organisasi wartawan. Saat itu ada dua organisasi wartawan.

Dilihat dari dari kacamata sekarang, jika kasus yang dilihat adalah klise surat Thamrin, tentu belum bisa dianggap melanggar kode etik karena belum naik cetak. Tabrani menjelaskan klise itu dibuat sebagai dokumen karena belum ada mesin fotokopi, bukan untuk dicetak.

Untuk tulisan lain, Tabrani mengakui untuk penurunan tulisan berjudul "Abang Kita" sengaja tak melakukan konfirmasi terlebih dulu. Hal itu dilakukan dengan tujuan memberikan kesempatan Thamrin untuk memberikan penjelasan terbuka. Ia menjelaskan alasan ini di tulisan "Abang Kita" itu.

Tulisan "Abang Kita" merupakan serangan kepada Thamrin, yang dimuat pada 28 Juni 1940 setelah penangkapan Amir Sjarifuddin, ketua umum Gerindo yang bergabung di Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Tabrani mempersoalkan sikap Thamrin selaku pimpinan Gapi yang berdiam diri hingga Amir dibebaskan.

Tulisan "Abang Kita" dinilai sebagai langkah pertama Tabrani membalaskan dendam kepada Thamrin, karena setelah itu sering muncul tulisan yang menyerang Thamrin. Matu Mona menganggap kasus surat Thamrin --yang disusul penggeledahan dan pemberedelan Pemandangan sejak edisi 17 Mei sore hingga 24 Mei sore-- sebagai pangkal dendam Tabrani.

Setelah itu, pada 3 Juli, Anwar Tjokroaminoto juga menulis "Abang Kita" di Isi Podjok Pemandangan. Pada 5 Juli, Isi Podjok juga mengulas "Abang Kita". Pada 12 Juli diturunkan pula surat dari pembaca yang mendukung artikel "Abang Kita" yang ditulis Tabrani. Pada 13 Juli, Tabrani kembali membahas "Abang Kita".

Pada 16 Juli, "Mbah Mlilit" mengupas "Abang Kita" berdasar laporan dari koran-koran lain, terutama koran-koran pendukung Parindra. Mereka membela Thamrin dengan argumen yang lemah sehingga diolok-olok dan argumennya mudah dipatahkan Mbah Mlilit.

Pada 19 Juli, Tabrani kembali membahas "Abang Kita" dengan mengutip penjelasan dari Gerindo. Pada 25 Juli baru diturunkan surat jawaban dari Thamrin, yang kemudian membuka peluang bagi Tabrani untuk mengulas detail surat jawaban Thamrin itu secara berseri pada 25,26,27 Juli. Pada 27 Juli pula Isi Podjok juga mengulas ramainya pembicaraan "Abang Kita".

Dalam surat bantahannya, Thamrin mengatakan ia telah berbuat demi Amir Sjarifuddin. Kemudian Tabrani mengeluarkan surat Thamrin yang menjawab permintaan Abiskusno selaku salah satu pimpinan Gapi agar Thamrin memberi penjelasan. Dalam surat itu Thamrin berkukuh tak akan menjawab Pemandangan.

Ketika akhirnya menjawab Pemandangan, Thamrin menyatakan telah memberi mandat kepada Soeangkoepon --juga pimpinan Gapi-- untuk mengurus kasus Amir, sebelum Thamrin pergi ke Bandung. Namun, Soeangkoepon membantah Thamrin. Soeangkoepon mengurus kasus Amir atas permintaan adik Amier sebelum Thamrin berbicara dengan Soeangkoepon.

Di tiga tulisan setelah Thamrin menjawab Pemandangan, Tabrani benar-benar menelanjangi Thamrin. Thamrin dinilai tak layak memimpin Gapi karena tak peduli pada keselamatan "anak buahnya". Thamrin dianggap hanya sebagai singa panggung yang hanya berani bicasa di sidang Volksraad. Alhasil, kepengurusan Gapi pun dirombak. Thamrin tak lagi memimpin Gapi.

Di sela-sela hari-hari membahas "Abang Kita" itu, Pemandangan masih menurunkan mosi Thamrin di Volksraad terkait keadaan luar biasa di Indonesia akibat perang Eropa. Mosi itu ditandatangani pula oleh Soetardjo dan Tadjoedin Noer.

Thamrin meminta pemerintah menjelaskan keadaan keuangan di saat kondisi luar biasa akibat perang Eropa. Secara prinsip jika aka nada pemberatan beban di masa perang itu, mengatasnamakan Volksraad, Thamrin setuju adanya pemberatan beban sepanjang ada penjelasan dari pemerintah. Selama belum ada penjelasan, Thamrin menyatakan agar pemerintah mencabut kembali usulan-usulan tentang pajak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement