Sabtu 05 Oct 2019 05:11 WIB

Tahu Panggilan (Cerita Pendek)

Bau jeriken membuat ia sadar bahan yang pernah ia temui untuk mengawetkan mayat

Tahu Panggilan
Foto:

Embusan napasnya membuat kaca mulai berembun. Sepanjang hari, setelah mengurus tanaman ala kadarnya karena memang ia cenderung tak suka berladang, menanti waswas panggilan itu.

Matanya tajam menembus kaca mencari bayangan juragannya. Setelah memastikan tak ada yang dapat diharapkan, ia merebahkan diri ke atas kasur.

Saat ia tepergok celingukan di depan kaca, sang istri mulai paham. “Kalau memang nganggur terus pengen kerja, mending gantian aja sama ibu. Bapak yang masak sama ngurus Aditya, aku yang kerja. Kan banyak sekarang ibu-ibu tetangga kerja di pabrik.”

Pak Pardi tak suka kesimpulan itu. Ia tak suka setelah lelah berpergian, pulang-pulang sang istri masih bekerja sampai malam hari. Tak ada yang menyiapkan air hangat untuk kulit tuanya, menyiapkan kopi, dan segala bentuk perhatian lainnya.

Rupanya rasa cemas Pak Pardi terbayar sudah tatkala dirinya sedang mandi terdengar teriakan di depan rumahnya. “Mas, barangnya siap kirim. Berangkat habis Zhuhur ya… Mbak Wati suruh bergincu banyak-banyak.” Mendengar namanya disebut, istri Pak Pardi mengerucut. Agak sedikit malu, tapi senang karena setidaknya sang suami dapat kerjaan. Di dalam kamar mandi, Pak Pardi tampak bersiul-siul.

Sehabis azan Zhuhur, Pak Pardi sudah rapi. Wangi minyak murahannya menguar. Rambut acaknya tersisir rapi ke belakang dan diberi minyak rambut supaya kaku. Padahal, kerjanya saja nanti panas-panasan. Ia bukan cuma jadi sopir, tapi sekaligus pengangkut barang. Menurunkan tahu-tahu di ember besar ke rumah pemesan.

Sudah pasti seluruh tubuhnya pegal semua. Rambutnya juga akan layu, dan minyak tubuhnya akan menguap terkena sinar matahari diganti bau keringat yang tak tertahankan. Namun, ia cukup senang. Karena dengan berdandan rapi itu bukan cuma menjaga penampilan walau sementara, tapi menyenangkan istri.

Sialnya, setelah ia berpenampilan klimis, setibanya di pabrik tahu harus menunggu lama sampai barangnya siap. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk memusnahkan kebosanannya. Terik matahari rupanya tampak iri dengan penampilan Pak Pardi hingga disedotnya dalam-dalam kesegarannya.

Ia mulai sebal. Saat itu waktu sudah hampir jam dua. Padahal, kemarin-kemarin tak sampai segitunya. Rasa bosannya tertahan sebentar tatkala sebuah pikup hitam menuju pekarangan pabrik. Pak Karman di dalamnya. Ia sempat melihat anak buahnya yang dandanannya mulai luntur itu.

“Hei mas, bantu angkut barang ini dulu ya. Maaf membuat kau menunggu.” Teriak Pak Kirman pada Pak Pardi. Pak kardi gelagapan, tapi siap. Ia mulai menurunkan satu persatu jeriken yang biasa dibeli juragannya.

Sambil tetap berjalan mengangkut barang itu, Pak pardi mulai bertanya-tanya. “Seminggu yang lalu kayaknya sudah beli banyak to, kok sekarang beli lagi?”

Pak Kirman kaget, ia segera celingukan ke sana sini. “Biasalah. Itu tandanya usaha ini semakin sukses.” Pak Pardi tak mau tahu lebih jauh lagi. Pikirannya sudah membayang di setiran mobil.

Sewaktu Pak Pardi masuk pabrik tempat pengolahan tahu, ia berhenti sebentar. Menyaksikan hiruk pikuk anak buah Pak Kirman yang sibuk mengolah tahu. Di atas loyang berapi besar, ada susu kedelai yang diaduk oleh dua pekerja.

Sebelumnya, kacang kedelai direndam, setelah itu ditumbuk. Permukaan susu di loyang itu memunculkan busa-busa.

Setelah melihat busa itu, dengan sigap dua pekerja tadi mengambil air untuk dimasukkan ke loyang sedikit demi sedikit sampai busa tadi benar-benar hilang. Mereka juga mulai menurunkan suhu kompor.

Loyang itu ada di mana-mana, dengan jumlah penjaga yang sama. Pak Pardi juga melihat beberapa pekerja mulai mencetak tahu berupa persegi yang sudah padat, lalu ditindih dengan pemberat supaya air keluar selama beberapa menit. Setelah tahu dicetak, ditaruhlah ke dalam ember untuk kemudian dipasarkan.

Setelah jeriken berdatangan, para pekerja tanpa komando langsung mengambilnya untuk dimasukkan ke dalam loyang besar tadi. Jeriken berwarna putih yang sengaja disamarkan mereknya dengan kertas telah memberi banyak keuntungan bagi Pak Kirman selama Pak Pardi bekerja di sana.

Walau Pak Kirman sendiri mendistribusikannya tak setiap hari, usahanya laku keras. Tak pernah ada yang namanya surut dalam bisnis ini sejak kehadiran jeriken putih itu. Namun, perlu waktu lama barang itu bisa sampai ke tangannya.

“Kau tak keberatan kan bekerja denganku? Ini semua demi menjaga kualitas barang. Supaya tahan lama, kelihatan menawan seperti bibir istrimu, dan laris di pasaran.” Kata Pak Kirman suatu hari.

Dari mencium bau jeriken itu, ia segera disadarkan dengan bahan yang pernah ia temui untuk mengawetkan jenazah. Karena urusan pekerjaan, supaya tak melihat bibir istrinya melebar disebabkan sering memarahinya tak bekerja, ia memilih diam. Sekali diendus pihak berwajib, ia kena imbasnya.

Setelah juragannya selesai dengan urusan bertransaksi, ia segera mengajak Pak Pardi berangkat menuju pemesan. Ada banyak ember yang mengisi mobil pikap itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement