Aku masih tetap ingin seperti pagi di sini, di dalam janji yang pernah kita sepakati dua puluh tahun silam. Meskipun kau sudah bukan seorang matahari di sini. Meskipun kau sudah menjadi matahari di lain tempat.
Aku akan terus ingin menjadi pagi yang membuat anak-anakku lekas gegas menyambut masa depan. Aku akan terus menjadi pagi yang membuat mereka terus percaya bahwa masa depan masih terlihat cerah meski kau sudah tak ada di sini.
Aku juga bisa berperan sebagai matahari selama beberapa saat, untuk mengajari bahwa hidup tak melulu berhawa sejuk, tak selalu bisa dibuat santai, tak juga senantiasa terasa nyaman. Mereka harus tahu ada saat-saatnya mempersiapkan diri menyambut datangnya siang yang lalu beranjak senja. Sesekali kuceritakan kepada mereka bahwa kita pun pernah mengalaminya.
Bahwa kita juga pernah merasai saat-saat bahagia di masa awal pernikahan. Betapa kita ingin dunia tak usah berputar agar bisa terus bertahan dalam kondisi seperti itu.
Kita juga pernah lengah dan kemudian terengah-engah memperbaiki keadaan. Setiap kali anak-anak kita lewat di muka Pasar Pecangaan yang kerap macet itu, aku ceritakan, bapakmu pernah tak berani pulang dan terus bertahan di sana hingga hari beranjak malam, karena dagangannya tak laku serupiah pun. Padahal, di rumah aku dan anak-anaknya sudah makan dengan lauk ayam pemberian tetangga yang sedang punya hajat besar.
Dan setiap kali mereka melewati pabrik roti Mekar Jaya itu, kuceritakan pula bahwa aku sampai pernah punya keinginan membunuh mandor pabrik tempatku bekerja (tentu saja cuma dalam hati). Bapak mereka belum memiliki pekerjan mapan, sementara aku tak punya cukup kesabaran untuk menjadi orang yang disuruh ini itu lalu seenaknya saja dimarahi. Tapi, semua itu harus kami lalui dengan penuh kesadaran bahwa mau tak mau kami pasti akan berjumpa teriknya siang.
Dulu, aku kerap membayangkan bahwa saat hari bergeser lagi, kami akan punya waktu khusus untuk sering-sering minum teh bersama di teras rumah sembari kembali mengenang apa-apa yang sudah kita lewati bersama. Menyusun kembali apa-apa yang pernah kita lewatkan.
Kalau mau jujur, aku rindu dengan saat itu. Ketika kau dan aku menjadi penggemar teh paling gila, adalah masa-masa kedekatan kembali menguat setelah gelombang pertama yang membuat kita sibuk menyamankan pelayaran bersama. Hingga lahirlah anak kedua kita.
“Ibu ingin aku buatkan teh?” ini dia anak keduaku. Perawakannya yang tegap berisi, tampan dan simpatik, sering membuat rinduku kepadamu melonjak-lonjak tak terkendali. Meski aku selalu berusaha mengingkari ini.
Aku mengangguk pelan. Menatapnya riang. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang bapak. Akhir-akhir ini dia kerap mendekatiku hanya demi mengetahui seluk beluk perihal wanita ketika hamil.
“Ibu ingin teh apa? Teh putih, teh hijau, teh oolong, teh hitam, teh melati, atau teh racikan Azam sendiri?”
Kegilaannya akan teh melebihi kita berdua. Apa mungkin karena di masa kecil dialah yang sering menemani kita saat minum teh bersama? Ia bahkan berani menggantungkan hidup dari itu. Membuka kedai di mana teh racikannya sendiri yang menjadi menu andalan.
Dia seperti kenangan yang hidup. Kepiawaiannya memanfaatkan teh adalah hal yang amat berguna baginya, meski hal itulah yang justru membuatku kecut. Lihatlah saat dengan cerewetnya dia menjelaskan beragam manfaat teh yang ada dalam menu jualannya kepada pelanggan.
“Teh putih itu tak mengalami proses fermentasi. Pengeringan dan penguapannya juga sangat singkat. Diracik hanya dari daun pilihan yang dipetik sebelum benar-benar mekar. Proses singkat itulah yang membuat kadar katekinnya tinggi, yang berguna sebagai penangkal radikal bebas serta antioksidan.”
“Nah, kalau teh hijau ini tak mengalami fermentasi, tapi pengeringan dan penguapannya agak lama. Kadar katekinnya sedikit lebih tinggi dari teh hitam. Ia dikenal sebagai penurun darah tinggi, kadar kolesterol jahat, pencegah kanker dan stroke serta bagus untuk menghaluskan kulit. Kau bisa menjadikan ini sebagai oleh-oleh istimewa untuk istrimu di rumah.”
“Oh, teh oolong ya? Kau punya penyakit gula? Teh dengan semi fermentasi ini dinamai sesuai nama penemunya. Seperti teh racikanku Azamtea ini, hahaha… Tapi, ada juga yang menyebutnya sebagai teh naga hitam karena teh ini mirip naga hitam kecil yang terbangun saat diseduh. Teh ini amat bagus untuk membantu kinerja pencernaan dan meredakan sakit kepala.”
“Teh yang aromanya paling kuat ya teh hitam ini. Inilah teh yang paling banyak dikon sumsi orang karena dipercaya dapat mencegah kantuk dan meningkatkan konsentrasi. Sementara itu di Indonesia, yang paling tersohor ya teh melati atau teh campuran dari bunga melati dan bunga gambir. Teh ini juga bagus sebagai penurun kolesterol dan penyegar badan. Itu ada. Silakan dicoba semua. Pokoknya di gerai kecil ini ada semua, tinggal cari Anda cocok dengan yang mana.”
Heran aku dengan keahliannya itu. Andai saja kau masih di sini dan tahu, kau pasti akan sama herannya denganku. Padahal, dialah yang paling antipati denganmu.
Apakah dia belajar diam-diam dengan menggunakan kebenciannya itu? Aku tidak pernah mengajarinya kebencian. Aku hanya selalu menjadi pagi yang membangunkan dan menyiapkannya menyambut siang yang pasti akan beranjak sore.
Mungkin karena dia sudah bisa membaca keadaan. Bagaimanapun kau akan selalu terlihat salah karena kaulah yang meninggalkan kami.
Beda dengan si bungsu. Dia seperti dingin yang begitu merindukan matahari. Sudah berkali kukatakan, baik secara halus maupun secara terang-terangan, jika ingin bertemu denganmu, pergilah sendiri saja tanpaku. Betapa pun dia sering berkata bahwa pagi tak akan bisa membangunkan siapa pun tanpa bantuan matahari.
Sepertinya dia belum juga sadar bahwa aku adalah pagi yang masuk dalam pengecualian. Lihat saja, tanpa seorang matahari pun aku sudah mampu bertahan sejauh ini.
“Aku tidak mengerti Ibu. Bukankah dulu kalian pernah saling mencintai dan saling melengkapi hingga akhirnya lahirlah kami?”
Andai dia bukan bocah kemarin sore yang pernah lahir dari rahimku, mungkin sudah kutampar mulut lancangnya itu. Apakah dia pernah menanyakan itu kepadamu?
Tidakkah dia belajar dan lalu mengerti bahwa semua yang tumbuh pasti akan berubah seiring waktu? Dari sesosok mungil yang tak tahu apa-apa hingga kini tumbuh menjadi sosok yang seperti sekarang. Begitu pun juga kami.
Iya, dulu kami adalah sepasang pagi dan matahari yang sanggup menyamankan mereka dari cuaca luar. Tapi, siapa pun pasti tidak akan pernah bisa menerka apa-apa yang akan menghadang di depan sana. Entah itu mendung, badai, kemarau, api, air, atau bahkan pagi lain, yang akan mengubah kita menjadi sosok yang lain.
“Lihat, Bu. Dia sudah sekarat,” menyodorkan sebuah foto sosok yang pernah menjadi matahari di rumah ini. Tampak menyedihkan dalam dekapan pagi yang bukan aku.
“Apakah Ibu juga mau diperlakukan seperti itu andai keadaannya berbalik kepadamu?” pelan suaranya, tapi terasa keras dalam dadaku.
Air mataku leleh. “Coba kau katakan padanya, ke mana saja dia sewaktu aku jatuh bangun membesarkan dan menjadikan kalian seperti sekarang ini.”
“Ibu mengajariku dendam?”
“Dia memang bapakmu,” mataharimu, “tapi dia bukan suamiku,” bukan lagi matahariku. “Apakah Ibu pernah mengajarimu untuk membencinya?” sekuat tenaga kutahan yang meletup-letup dalam dada. Aku sudah tak peduli. Aku pagi yang telah lama memendam luka dan coba menyembuhkannya sendiri.
Tiba-tiba saja dia menangis. Entah apa yang ditangisinya.
-- Banyuputih, Kalinyamatan, Jepara, 2014-2017.
TENTANG PENULIS: ADI ZAM-ZAM, nama pena dari Nur Hadi. Tahun 2002, beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastranya RRI Pro II Semarang. Karyanya menghiasai media lokal dan nasional dan berhasil menyabet sejumlah penghargaan.