Ahad 29 Sep 2019 17:17 WIB

Mewujudkan Kekuasaan yang Produktif

DPR merumuskan berbagai rancangan kebijakan tidak matang.

Situasi aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI pukul 16.58 WIB. Polisi terus memukul mundur mahasiswa dengan menggunakan gas air mata.
Foto: Republika/Prayogi
Situasi aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI pukul 16.58 WIB. Polisi terus memukul mundur mahasiswa dengan menggunakan gas air mata.

Tahun 2019 rasanya menjadi tahun yang amat berat bagi rakyat Indonesia. Setelah serangkaian polemik Pemilu Serentak yang sarat akan isu SARA dan polarisasi, berbagai wacana revisi dan rancangan undang-undang baru kembali menuai perdebatan.

Mungkin karena sudah lama tak didengarkan, reaksi masyarakat yang menolak berbagai kebijakan baru terbilang besar. Mahasiswa dan massa yang turun ke jalan untuk berunjuk rasa, hingga berbagai kegiatan aktivisme publik melalui platform digital turut mewarnai penghujung tahun 2019 ini.

Polemik penolakan terhadap serangkaian kebijakan DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tentu menjadi sarapan pagi dan makan malam rakyat Indonesia beberapa waktu belakangan. Masyarakat dari berbagai golongan ramai menyampaikan pendapatnya, baik para ahli (profesional), mahasiswa, dan sebagainya.

Media massa pun tak ketinggalan. Mereka ramai memberitakan dinamika seputar RKUHP dari berbagai sudut. Untuk meramaikan, tak lupa media memberi panggung bagi berbagai tokoh masyarakat untuk menyampaikan pandangannya. 

Tudingan berat bertumpu pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga negara yang namanya seolah tak mencerminkan kerja aslinya. Seolah hanya mewakili diri dan golongannya sendiri alih-alih rakyat, DPR merumuskan berbagai rancangan kebijakan tidak matang yang dinilai tak sesuai oleh masyarakat.

Hal ini juga yang menjadi penyebab ratusan-hingga ribuan mahasiswa turun ke jalan, menuntut demokrasi yang dijanji-janjikan. Bila ditelurusuri lebih jauh, pasal-pasal kontroversial dalam RUU KUHP bisa digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu pasal-pasal yang menistakan makna demokrasi, dan pasal-pasal dangkal yang seolah tak melalui pertimbangan matang. 

Pasal mengenai penghinaan presiden dan lembaga negara, misalnya, yang di antaranya tertuang dalam pasal 218, 219, dan 353-354. Masing-masing pasal mengatur hukuman bagi orang-orang yang dianggap “menghina” presiden, wakil presiden, maupun lembaga negara.

Senin 23 September lalu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia turun ke jalan. Unjuk rasa menyerukan penolakan RUU KUHP, perbaikan sistem, hingga mosi tidak percaya kepada DPR.

Tindak represif pun tak absen dilakukan. Tak hanya pada mahasiswa, tapi juga para jurnalis yang meliput agenda. Tentu saja tindakan represif itu tak dilakukan aparat secara cuma-cuma, melainkan atas perintah para atasannya. 

 

RUU KUHP juga mengandung pasal-pasal yang urgensinya satu arah, seolah tak mempertimbangkan apa yang sesungguhnya rakyat Indonesia butuhkan. Sebut saja pasal 414 soal larangan mempromosikan alat kontrasepsi serta pasal 251, 415, 469 dan 470 mengenai larangan aborsi.

Pasal-pasal ini adalah pasal yang sesungguhnya berpotensi mengkriminalisasi para korban perkosaan yang hamil serta merenggut otoritas manusia terhadap tubuh dan seksualitasnya. Pasal-pasal ini juga mencerminkan pandangan pemerintah Indonesia yang kolot mengenai hubungan seksual.

Padahal, alat kontrasepsi berfungsi mencegah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Bila angka KTD berkurang, pemerintah akan menjadi salah satu pihak yang diuntungkan.

RUU KUHP juga dinilai memberikan ruang keringanan hukuman bagi para koruptor yang di antaranya tertera dalam pasal 603,604, dan 605. Hal itu disebabkan beberapa pasal dalam RUU KUHP memberi hukuman yang lebih rendah bagi pelaku korupsi daripada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Hal tersebut bukanlah hal yang bijak dilakukan di negara dengan angka korupsi yang tinggi. 

Ada pula RUU ajaib yang hanya dirumuskan selama 5 hari. Itulah RUU KKS atau Keamanan Ketertiban Siber. RUU kilat yang semula akan disahkan pada Senin (30/9) mendatang.

Meski telah dinyatakan dibatalkan, wacana hadirnya peraturan KKS sempat menuai kritik masyarakat lantaran dinilai berpotensi mengekang kebebasan berekspresi rakyat Indonesia serta membatasi perkembangan teknologi, salah satunya ekonomi digital. Publik juga mempertanyakan proses perumusan RUU ini karena diajukan tanpa melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan diselesaikan secara instan.

Marwah Indonesia sebagai demokrasi makin banyak dipertanyakan. Berbagai keputusan sepihak yang pemerintah tetapkan membuat tanda tanya itu kian membesar.

Imbauan tak berunjuk rasa, dihalanginya kerja para jurnalis, hingga kekerasan dari aparat kepada rakyat juga memperkuat spekulasi buruknya demokrasi di Indonesia akibat praktik kekuasaan yang buruk oleh pemerintah dan para elite politik. Oleh karena itu,  penting bagi pemerintah untuk memandang rakyat setara, bahwa rakyat juga memiliki kewenangan untuk menentukan baik-tidaknya kebijakan di negaranya. 

Seorang filsuf asal Prancis bernama Michel Foucault memiliki sebuah pandangan yang cukup kontroversial. Alih-alih memandang praktik kekuasaan (power) sebagai hal yang melulu buruk, Foucault menilai kekuasaan dalam politik dan pemerintahan bisa menghasilkan sebuah sistem yang produktif.

Pandangan itu dituangkan dalam tulisan yang berjudul The Work of Representation. Hal itu disebabkan ketika membuat dan mempublikasikan serangkaian kebijakan, reaksi publik yang konstruktif terhadap kebijakan itu bisa menjadi wadah tersendiri bagi manusia untuk mengembangkan pemikirannya. Foucault menilai setiap manusia pasti pernah dan akan berada di posisi ketika ia memimpin dan ketika ia dipimpin.

Adanya siklus kekuasaan dan kepemimpinan ini memungkinkan sharing knowledges terjadi antara rakyat dengan pemerintah. Kebijakan pemerintah, misalnya, akan memicu berbagai debat dan diskusi timbul, entah antar rakyat, antar pemerintah, maupun antar rakyat dan pemerintah.

Akan terjadi pertukaran ide di sana, yang bisa menjadi sarana saling mencerdaskan diri. Kebijakan pemerintah yang lahir juga akan memicu produktivitas sosial masyarakat lainnya, yaitu lahirnya berbagai pemberitaan (hard news dan soft news) dalam media massa. Hal itu akan menghidupkan iklim demokrasi yang baik di sebuah negara.

Bila dilihat pada praktiknya di Indonesia, rasanya tak keliru bila menyebut praktik kekuasaan di Indonesia tidak produktif. Tak menghasilkan sharing knowledge, pemerintah cenderung menganggap rakyat sebagai objek submisif yang tak memiliki kuasa untuk menetukan arah dan alur kebijakan negaranya.

Praktik demokrasi semu juga terwujud dalam pembuatan undang-undang dan rancangan undang-undang tanpa mengindahkan pertimbangan dan tanggapan rakyat. RUU KPK yang telah disahkan adalah salah satu contohnya.

Bila dilihat akar permasalahannya, dalam hal ini DPR sebagai pembuat atau pencetus regulasi dan pengubah regulasi, sesungguhnya kelahiran dan keberadaan DPR sendiri bertumpu pada sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Kalau saja Indonesia tak menganut sistem demokrasi, lembaga dengan kewenangan seperti DPR, yang menyandang nama “perwakilan rakyat” dalam lembaganya, tentu nihil jadinya.

Konsep yang dikemukakan Foucault menitik beratkan pandangan bahwa kekuasaan (power) tak selalu bermakna negatif, tapi juga bisa nermakna positif. Kekuasaan bukanlah sebuah perangkat pewujud kebutuhan pribadi atau kelompok penguasa, melainkan perangkat berbagi pendapat yang untuk berbagi pengetahuan yang diharapkan berdampak baik bagi perkembangan pemikiran manusia atau peradaban sebuah negara.

Hal inilah yang nampaknya perlahan luput dari benak pemerintah Indonesia. Padahal, secara teoritis memang demokrasi di Indonesia memiliki tujuan  yang mulia. Dilihat dari namanya, jelas menunjukkan bahwa DPR adalah perwakilan rakyat yang memiliki tanggungjawab kepada rakyat pula. Sebagai “perwakilan”, adakah wewenang yang membenarkan perilaku represif untuk menekan demokrasi?

Dalam tulisan yang berjudul Invoking Democracy: Foucault’s Conception (With Insights from Hobbes), dipaparkan bahwa Foucault menekankan tak mungkin ada masyarakat yang terlepas dari relasi kekuasaan. Namun, seharusnya pemerintah menerapkan teknik manajemen, etika, dan praktiknya sendiri yang meminimalisir praktik dominasi.

Hal inilah yang nampaknya perlu senantiasa diingat pemerintah Indonesia. Apa lagi, Indonesia adalah sebuah negara demokrasi dan negara hukum yang mengamini penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan supremasi hukum. Pemerintah perlu menyadari tanggung jawab di pundaknya yang datang dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat pula.

Dalam proses mewujudkan kesejahteraan itu, pemerintah juga harus secara aktif melibatkan rakyat dalam iklim demokrasi yang sehat. Jabatan sebagai wakil rakyat bukanlah sebuah perangkat pewujud kepentingan pribadi maupun kelompok.

Terdapat sebuah perkataan yang berbunyi “tidak ada kata cukup dalam belajar.” Nampaknya perkataan itu tepat ditujukan bagi pemerintah Indonesia. Pemerintah harus belajar untuk berpikir progresif dan menghargai perbedaan pendapat.

Ketika lahir sebuah saran membangun yang terdengar baru dan unik, pemerintah tak seharusnya langsung menepis tanpa pertimbangan panjang. Sebagai pelaksana dan pembuat kebijakan, pemerintah perlu menyadari kebutuhan rakyat seiring waktu terus berkembang dan berubah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat perlu sesuai dan mengikuti kebutuhan itu pula. 

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari Foucault yang perlu dimaknai dengan tepat oleh pemerintah Indonesia:

“I think, very important: the kind of relationship you ought to have with yourself, rapport à soi, which I call ethics, and which determines how the individual is supposed to constitute himself as a moral subject of his own actions.”

Pengirim: Selma Kirana Haryadi, mahasiswi Prodi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement