Kamis 26 Sep 2019 21:00 WIB

Sertifikasi Halal dan Kedaulatan Negara

Kekalahan di WTO yang longgarkan sertifikasi halal mencederai kedaulatan negara

Sertifikasi halal sebagai upaya strategis dalam menyajikan produk untuk masyarakat.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Sertifikasi halal sebagai upaya strategis dalam menyajikan produk untuk masyarakat.

Pemerintah melalui menteri perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019. Permendag ini berisi ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Dengan adanya peraturan baru ini, daging yang diimpor tidak harus bersertifikat halal.

Menurut ketua Halal Institute, Subyakto Ahmad, dikeluarkannya Permen ini menunjukkan pada 3 hal, yaitu: Pertama, pemerintah telah mengorbankan ketentuan halal yang diwajibkan pada impor hewan dan produk hewan. Kedua, pemerintah tidak melindungi hak konsumen muslim di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Ketiga, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan telah menganggap enteng atau meremehkan ketentuan halal yang telah diundangkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan produk halal dan PP Nomor 31 Tahun 2019 tentang pelaksanaan UU 33/2014. Pemerintah berargumen bahwa ketentuan halal cukup ada dalam rekomendasi instansi yang lain. Padahal,  ketentuan halal ini justru merupakan senjata untuk menegaskan kedaulatan nasional dalam perdagangan dunia. (eramuslim.com, 16/9)

Pelonggaran ketentuan impor daging ayam dari Brasil ini merupakan rekomendasi dari World Trade Organization (WTO). Rekomendasi itu sebagai buntut dari kekalahan Indonesia dalam gugatan Brasil ke WTO pada tahun 2017 yang tak kunjung dilaksanakan karena berbagai alasan. Salah satunya terkait isu sertifikasi halal dan sanitasi.

Dosen Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan bahwa  jika Indonesia tidak meratifikasi, akan ada sanksi bagi Indonesia, dari yang ringan hingga yang berat. Namun, yang paling penting, hal ini akan mengganggu hubungan internasional Indonesia, terutama saat membuat perjanjian dagang.

Belum lagi, jika negara-negara lain melakukan retaliasi dengan cara menyulitkan ekspor asal Indonesia yang masuk ke negara-negara yang  bersangkutan. Tentu, hal ini akan mempengaruhi kinerja neraca perdagangan Indonesia yang saat ini masih defisit.

Sekedar informasi, gugatan impor daging ayam itu bukan hanya dari Brasil. Selain Brasil, ada 17 negara yang menggugat Indonesia. Negara-negara itu adalah AS, Jepang, China, New Zealand, Norwegia, Vietnam, Paraguay, Taiwan, India, Australia, Argentina, Rusia, Kanada, Thailand, Oman dan Qatar, serta Uni Eropa.

Menurut Fihtra, Indonesia sulit memenangkan gugatan Brasil lantaran data atau argumen yang dipakai oleh Indonesia sebagai negara yang digugat itu subjektif dan sulit dibuktikan. Misalnya, dari sisi kesehatan atau lingkungan, karena standar di masing-masing negara bisa berbeda. 

Pendapat Fithra ini sesuai dengan laporan dari Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau United States Agency for International Development (USAID). Menurut USAID, jika hambatan non-tarif dipakai untuk melindungi industri domestik, negara yang menerapkan hambatan tersebut besar kemungkinan akan mengalami kekalahan  dalam persengketaan di WTO. 

Ini bukan kali pertama Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang gugatan di WTO.  Sebelumnya, Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan yang diajukan oleh AS dan Selandia Baru pada tahun 2017.

Gugatan itu terkait restriksi impor produk daging dan hortikultura yang dikeluarkan oleh Indonesia pada tahun 2013. Restriksi ini salah satunya terkait kehalalan produk daging. AS dan Selandia Baru merasa dirugikan dengan adanya restriksi ini.

AS bahkan telah mengajukan permohonan pada WTO untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar 350 juta dolar AS atau setara dengan Rp 5 triliun lantaran Indonesia dinilai tidak mengindahkan putusan WTO tersebut. Namun, AS kemudian meminta kepada WTO untuk menunda pelaksanaan sanksi tersebut dalam batas waktu yang tidak ditentukan.

Ada kemungkinan, kekalahan ini akan disusul dengan kekalahan-kekalahan berikutnya. Hal ini karena sistem perdagangan yang diterapkan di dunia saat ini adalah sistem kapitalis. Sistem ini hanya berlandaskan pada kebebasan kepemilikan. Tidak ada standar halal-haram di dalamnya.

Maka, siapa pun bebas untuk memiliki atau memperdagangkan apa saja, termasuk barang haram. Misalnya, khamr, daging babi, binatang yang tidak sembelih dengan nama Allah, dan sebagainya.

Kebebasan kepemilikan juga meniscayakan tidak adanya standar kemanusiaan. Maka, hukum rimba berlaku di sini. Siapa yang kuat, dialah yang menang. Hal ini tampak dengan adanya penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis terhadap negara-negara dunia ketiga. 

Penjajahan ekonomi ini terjadi akibat munculnya era industrialisasi di Eropa dan Amerika. Industrialisasi ini membutuhkan bahan baku dalam jumlah besar serta pasar yang besar pula.

Untuk mendapatkan bahan baku dalam jumlah besar, negara-negara kapitalis berusaha menguasai negara-negara yang memiliki sumber daya alam melalui jerat utang luar negeri yang mencekik. Faktanya, negara yang memperoleh pinjaman itu tidak pernah mampu melunasinya. Bahkan, dari tahun ke tahun, utang riba tersebut semakin meningkat jumlahnya. Akibatnya, negara tersebut semakin miskin dan lemah karena terkuras devisanya.

Sedangkan untuk mendapatkan pasar yang luas, diciptakanlah kawasan pasar bebas dunia. Dengan pasar bebas ini, negara-negara kapitalis itu bisa memasarkan produk-produk mereka ke berbagai negara tanpa ada hambatan. 

Jika ada negara yang berusaha melakukan proteksi terhadap produk dalam negerinya, negara tersebut bisa digugat melalui WTO. Inilah yang dialami oleh Indonesia saat ini. Restriksi impor daging ayam dengan sertifikat halal dan sanitasi, dianggap merugikan negara-negara penggugat. Akibatnya, Indonesia pun mengorbankan rakyatnya hanya untuk mengikuti kemauan negara lain.

Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sistem ini tegak di atas akidah Islam yang menjadikan halal-haram sebagai landasannya. Maka, segala transaksi yang terjadi senantiasa dikaitkan dengan aturan Allah Swt. Aturan yang paling tepat bagi manusia karena berasal dari Sang Pencipta manusia.

Sistem ini juga menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Pemenuhan terhadap kebutuhan ini sebagai bentuk ketaatan penguasa terhadap Allah Swt. Hal itu karena penguasa memahami bahwa amanah yang diembannya kelak akan dihisab pada hari kiamat.

Pemenuhan terhadap kebutuhan seluruh rakyat ini dilakukan dengan cara mengeksplorasi sumber daya alam yang dimiliki. Dengan demikian, negara tidak perlu berutang atau mengadakan perjanjian-perjanjian yang merugikan dan membahayakan kedaulatan negara.

Karena itu, sudah saatnya kita kembali menerapkan aturan ini. Aturan yang akan membuat manusia diperlakukan secara manusiawi. Aturan yang akan membawa keberkahan, kemaslahatan, serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Wallaahu a'lam bishshawaab.

Pengirim: Mariyatul Qibtiyah, S.Pd, Akademi Menulis Kreatif

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement