Kamis 26 Sep 2019 19:02 WIB

Karhutla tak Kunjung Usai, Pemerintah Masih Abai?

Penanggulangan Karhutla yang dilakukan pemerintah masih bersifat reaktif

Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019).
Foto: ANTARA/PUSPA PERWITASARI
Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019).

Indonesia sedang dirundung nestapa karena karhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Mengutip mongabay.co.id, update 12 September 2019 pukul 16.00 WIB, total luas hutan dan lahan yang terbakar 328.724 ha dengan 3.673 titik panas.

Asap pekat kian menyelimuti udara, yang membuat banyak warga menderita baik gangguan penglihatan maupun pernapasan. Mengutip beritagar.id, jarak pandang di sejumlah daerah di Provinsi Riau turun drastis hanya berkisar 200 hingga 400 meter, dan mengutip mongabay.co.id, penderita ISPA sepanjang 2019 sebanyak 281.626 orang terdampak.

Berbulan-bulan lamanya penderitaan ini harus di tanggung masyarakat Sumatra dan Riau. Mereka tentu sudah sangat berharap bantuan segera datang dari pemerintah agar api segera di padamkan dengan serius. 

Meski upaya pemadaman telah dilakukan, namun tak membuahkan hasil yang signifikan. Mengutip mongabay.co.id, peralatan yang digunakan untuk pemadaman masih minim. Melihat luasnya wilayah yang terbakar,  kejadian ini adalah suatu hal yang luar biasa sehingga upaya yang dilakukan pemerintah dirasa belum serius.

Mengutip cnnindonesia.com, Agung Nugroho selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Riau, meminta Presiden RI Joko Widodo untuk datang langsung melihat kabut asap di Riau agar upaya penanganan pemadaman karhutla menjadi lebih proaktif.

Akhirnya setelah berbulan-bulan karhutla berlangsung, Presiden RI pun baru mendatangi Riau pada 16 September 2019 dengan mendatangkan 5.600 personi pemadam kebakaran dan 52 pesawat. Namun karhutla tak kunjung usai, mengutip cnnindonesia.com, tercatat 23 September 2019 asap karhutla di Jambi makin pekat hingga pemkot Jambi terpaksa liburkan PNS hamil.

Pemerintah pun belum ada tanggapan terkait hal ini. Alhasil hingga detik ini masyarakat Riau dan Sumatra masih harus menghirup udara yang pekat dengan kabut asap tanpa ada kejelasan kapan penderitaan ini akan berakhir. 

Berbagai upaya penanggulangan dan kuratif terus dilakukan oleh pemerintah, namun sayangnya uapaya tersebut bersifat reaktif dan belum menyentuh akar masalah dan pencegahan dari awal. Baru bergerak saat musibah terjadi. 

Gerbang kejahatan karhutla gambut terletak pada kelalaian negara. Yakni, karena negara menerapkan hak konsesi lahan kepada para pengusaha yang menyebabkan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab negara menjadi tumpul.

Maka wajar saja jika kerusakan gambut semakin parah terutama di Riau dan Kalimantan tengah. Hak konsesi didesain memang untuk melayani kepentingan korporasi termasuk korporasi asing.

Kelalaian ini bermula dari tidak diterapkannya sistem kehidupan Islam. Kehadiran sistem kehidupan Islam akan menutup rapat gerbang kejahatan tersebut. Karena semua itu diharamkan Islam. Sehingga sulit dibayangkan akan terjadi karhutla gambut kronis seperti saat ini

Harus diingat, lambatnya penanganan karhutla setiap kali terjadi dan berulangnya kasus karhutla selama puluhan tahun bukan karena hambatan teknis semata, namun yang lebih serius adalah hambatan paradigmatis-ideologis. Yakni, sistem kehidupan sekuler kapitalisme itu sendiri.  Khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme berikut berbagai paradigma batil yang bersesuaian dengannya. 

Sehingga, solusinya hanya satu, negara harus mengakhiri segala kelalaiannya. Yakni harus membuang jauh konsep hak konsesi, berikut sistem politik demokrasi dan sistem politik kapitalisme pendukungnya.  Artinya, pemerintah bersegera menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk dalam pengelolaan hutan lahan gambut dan penaggulangan karhutla.

Yang dengan itu Allah SWT segera menurunkan keberkahan berupa hujan lebat untuk memadamkan ratusan titik api yang menyebabkan neraka kabut asap. Allah SWT dalam QS.Al A’raf [7]:96, artinya, ”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,...”

Dengan diterapkan sistem kehidupan Islam dengan sendirinya upaya pemadaman kabut asap menjadi steril dari berbagai hambatan paradigmatik–ideologis yang menjadi penghalang utama proses penanggulangan titik api selama ini. Seperti hak konsesi, otonomi daerah. Demikian juga tekanan  agenda hegemoni climate change biofuel.

Tidak hanya visi peri’ayahan (pengurusan) yang kuat  dalam sistem Islam , dana memadai untuk pemadaman titik yang tercepat dengan berbagai teknologi terkini dapat tersedia. Yakni, melalui pembiayaan mutlak yang berbasis Baitul Maal. Yang salah satu sumbernya dari sumber daya alam dan energi yang jumlahnya berlimpah di negeri ini.

Ketika tidak tersedia biaya, dengan konsep pembiayaan mutlak, negara dapat memobilisasi pengumpulan/penarikan pajak sementara dari orang-orang kaya. Dan bersifat suka rela bagi yang bukan orang kaya,  namun memotivasi mereka.

Selain itu, negara akan memobilisasi  berbagai teknologi terkini untuk pemadaman titik api dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pemadaman ratusan titik api tersebut sangat mungkin dilakukan dengan singkat, pertama karena di wilayah pembakaran hutan lahan gambut terdapat sejumlah sungai besar. S

eperti sungai Siak di Riau, sungai Musi di Sumatera Selatan, Sungai Mahakam dan Sungai Kayan di Kalimatan Timur dan Kalimatan Utara.  Juga terdapat laut dan samudera yang berlimpah dengan air, sebab sebagai negara kepulauan luas wilayah air jauh lebih besar  dari daratan. Kedua, sudah tersedia berbagai teknologi untuk pemadaman cepat. 

Seperti pesawat  Beriev  Be-200 Altair yang merupakan pesawat amfibi berkecepatan tinggi/mampu mendarat di darat dan air, bersayap tinggi serba guna dengan kapasitas angkut air 12.000 liter/12 ton air. Be-200 dapat terbang rendah sambil setengah menenggelamkan diri di air untuk menampung 12 ton air dalam waktu hanya beberapa menit.

Ia kemudian dalam waktu singkat menuju titik kebakaran dan menumpahkan seluruh air tampungan tersebut. Subhanallah 10 pesawat ini jika bekerja siang malam, dengan diiringi pembuataan kanal-kanal pengumpul air agar gambut kembali basah, insyaAllah dalam waktu singkat ratusan titik api bisa dipadamkan segera.

Bandingkan dengan kondisi saat ini, ditengah hambatan ideologis paradigmatis sistemik, buruknya visi peri’ayahan negara, dan rendah kemampuan finsial dan teknologi upaya yang dilakukan sangat terbatas. Tidak heran pemadaman titik api berlangsung sangat lama.

Pengirim: Ruli Aisyah, Anggota KOMAJI (Komunitas Mahasiswi Mengaji)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement