Selasa 24 Sep 2019 15:09 WIB

Eliminasi Kasus Korupsi yang Bertubi-tubi

Penyusunan revisi UU KPK dibuat dengan mengabaikan kritikan yang bertubi-tubi

Aksi mahasiswa menolak RUU KPK dan RKUHP di depan Gedung Parlemen RI di Jakarta, Senin (23/9).
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Aksi mahasiswa menolak RUU KPK dan RKUHP di depan Gedung Parlemen RI di Jakarta, Senin (23/9).

Polemik revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tak kunjung usai dari pra hingga pascapengesahan. Berawal dari penyusunan hingga pengesahannya sepihak menanggalkan transparansi dan partisipasi.

Kritikan sudah bertubi-tubi, namun diabaikan dan berdalih tidak akan melemahkan KPK sekaligus independensinya. Justru agar tidak terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Polemik ini terjadi khususnya terkait pembentukan Dewan Pengawas yang memiliki wewenang memutuskan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dimana pengaturan seperti ini justru akan memperpanjang alur penyidikan, ditambah lagi menurut Donal Fariz selaku Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), KPK hanya akan dapat menangani kasus kecil tanpa dapat menyelesaikan kasus korupsi yang kompleks. Walhasil keberadaan koruptor akan sulit untuk dibuktikan.

Apalagi di balik perpolitikan pasti ada kepentingan. Sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.com, Antonius Benny Susetyo selaku rohaniawan yang juga dikenal sebagai budayawan, menyatakan bahwa keputusan Presiden tidak bisa dilihat hanya hitam-putih. Tetapi di arena politik itu kita selalu melihat kepentingan-kepentingan (21/9). Jadi wajar semua dilakukan karena adanya kepentingan, entah kepentingan yang bisa membawa kebaikan bagi rakyat secara keseluruhan atau hanya segelintir orang.

Perkara ini mendobrak aliansi mahasiswa ikut turun ke jalan menuntut Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Mereka tidak ingin ada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia (detik.com, 23/9). Hal ini senada dengan penyataan eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, bahwa tidak ada jalan lain untuk menangkal pelemahan KPK kecuali dengan diterbitkan Perppu. 

Memberantas korupsi memang bukanlah hal yang mudah, apalagi berhadapan dengan para pemangku kekuasaan yang memiliki peluang besar melakukan tindak korupsi. Berbagai cara dan dalih bisa dilakukan agar tidak diketahui oleh para penegak hukum. Apalagi perlindungan kuat berasal dari sistem Barat yang menghalalkan segala cara karena asas sekuler (baca: memisahkan agama dari kehidupan) yang mereka emban untuk memenuhi kepentingannya. 

Berbeda halnya dengan gambaran pemimpin dalam sistem Islam. Sebagaimana kisah sahabat Umar bin Khatab yang berstatus sebagai pemimpin Negara pada masa Khulafaur Rasyidin.

Suatu ketika beliau berkeliling di wilayah kepemimpinannya untuk memastikan kebutuhan warganya telah terpenuhi. Nyatanya ditemukan satu rumah yang masih kelaparan. Sontak beliau langsung bergegas mengambil bahan pokok di tempat penyimpanan, kemudian mengantarkannya ke rumah tersebut. Beliau juga menolak bantuan asistennya karena takut akan dosa sebab belum mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya secara keseluruhan. 

Menilik dari kisah tersebut, pertama kita ketahui bahwa kuatnya ketakwaan individu beliau yang takut akan dosa atas kurang detailnya memantau warga hingga masih ada yang belum terpenuhi kebutuhan dasarnya. Jangankan mau mengambil uang rakyat, memberi belum optimal saja sudah merasa takut. Bisa dibayangkan tipe pemimpin demikian bisa menjadi langkah awal ketiadaan kasus korupsi.

Kedua, jika pemimpin berbuat dzalim, maka masyarakat sudah semestinya mengoreksi atau menasehati. Sebagaimana hadits dari Tamim al-Dari r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Agama itu adalah nasihat”. Kemudian sahabat bertanya: “Untuk siapa?”, Nabi SAW bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim). 

Ketiga, pada masa kekhilafahan, negara menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Dimana hal ini yang akan memperkokoh ketakwaan individu dan kepedulian masyarakat, sekaligus yang memiliki pengaruh besar dalam pengkondisian umat secara tersistem. 

Wallahu ‘alam bi shawab

Pengirim: Himatul Solekah, Pemerhati Media

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement