Selasa 24 Sep 2019 14:36 WIB

Indonesia Butuh Investasi Aseng dan Asing

Rendahnya investasi asing dan aseng di Indonesia akan berpengaruh ke tenaga kerja

Investasi di Indonesia (Ilustrasi)
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Investasi di Indonesia (Ilustrasi)

Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) dalam acara Titik Temu Kerja Sama Multikultural Untuk Persatuan Dan Keadilan di Double Tree Hilton Hotel, Jalan Pegangsaan Timur, Cikini Jakarta Pusat, Rabu 18 September 2019, Jokowi mengutip apa yang disampaikan oleh Cendikiawan Muslim Quraish Shihab, soal cinta keagamaan dan emosi keagamaan.

Jokowi mengungkapkan keberhasilan suatu negara kedepannya akan sangat ditentukan oleh keberhasilan masyarakatnya dalam menerima kemajemukan. Untuk itu Presiden mengatakan sudah seharusnya Indonesia mampu mengelola perbedaan internal dan hadirnya orang asing yang memberi keuntungan bagi Indonesia

"Harusnya semakin mampu, semakin dewasa semakin mampu, termasuk semakin mampu mengelola atas hadirnya orang asing yang bekerja sama dengan kita, dengan catatan menguntungkan bangsa ini. Jangan belum belum sudah disebut antek asing antek aseng. Itu namanya emosi keagamaan bukan cinta keagamaan ", ujar Jokowi.

Apa yang disampaikan oleh Presiden tersebut membuktikan jika bangsa ini belum siap untuk menerima kehadiran bangsa asing sebagai mitra dalam membangun perekonomian Indonesia. Pada hal kehadiran bangsa asing untuk berinvestasi di Indonesia sangat dibutuhkan, untuk menunjang lajunya pertumbuhan ekonomi dinegeri ini.

Sentimen agama, dan perbedaan bangsa semakin melekat erat dalam kehidupan sehari hari bangsa ini. Padahal sebelum masuknya bangsa ini kedalam era reformasi, bangsa ini dapat menerima kehadiran bangsa lain dinegeri ini, demi untuk memajukan perekonomian bangsa.

Kemajemukan yang ada selama ini menjadi suatu kekuatan dalam membangun perekonomian. Masuknya investor Jepang untuk membangun infrastruktur hasilnya cukup dirasakan oleh rakyat Indonesia. Begitu juga para investor investor dari negara Eropa, seperti, Belgia, Jerman, Francis, Inggeris, Belanda dan lain sebagainya, melakukan investasi dibidang perkebunan, tambang dan industri, hasilnya juga cukup dirasakan oleh anak negeri ini.

Kehadiran investor asing di Indonesia, selain dapat meningkatkan perekonomian, juga membuka lapangan kerja baru. Para investor asing ini menyerap jutaan tenaga kerja, dan membantu pemerintah dalam menanggulangi jumlah pengangguran.

Sebagai bangsa Indonesia, seharusnya kita tidak boleh munafik. Disatu sisi kita sering menyerukan sebagai bangsa yang anti terhadap aseng dan asing, akan tetapi disisi lain kita masih mengharapkan ketergantungan terhadap aseng dan asing.

Banyak perusahaan perusahaan besar di Indonesia yang dikelola oleh aseng. Mulai dari pada kelautan, sampai kepada yang didaratan, seperti perkebunan, pertambangan dan pabrik pabrik industri. 

Berapa juta jiwa jumlah nelayan yang menggantungkan kehidupannya dan keluarganya pada perusahaan bidang kelautan yang dikelola oleh aseng. Berapa banyak jumlah buruh yang bekerja dipabrik pabrik industri yang dikelola oleh aseng. Belum lagi jumlah buruh yang bekerja diperkebunan dan pertambangan yang dikelola oleh aseng dan asing. Semua ini membuktikan jika kita masih memiliki ketergantungan kepada aseng dan asing.

Lantas kenapa kita masih sanggup untuk berkoar koar dengan mengatakan anti aseng dan asing?, sementara kita belum mampu untuk berdiri diatas kaki sendiri (Berdikari) sesuai dengan harapan Presiden Sorkarno.

Investasi

74 tahun Indonesia sudah merdeka. Sebagai bangsa  yang telah merdeka,  bangsa yang besar yang memiliki lebih kurang 200 juta jiwa penduduknya, seharusnya kita semakin dewasa dalam menerima keberagaman dalam berbangsa.

Kita bukanlah bangsa seperti katak dalam tempurung, yang hanya tahu dunia itu hanya sebesar  tempurung. Tapi kita adalah bangsa yang merdeka, yang dapat mengakses kejadian kejadian apa saja dibelahan bumi dengan teknologi yang semakin canggih.

Kemajemukan adalah merupakan tuntutan zaman yang bukan harus dihindari, tapi melainkan kemajemukan itu harus dimamfaatkan dalam membangun perekonomian bangsa.

Ketika bangsa ini masuk kedalam era reformasi, seharusnya kita bisa merubah sikap kepada hal keterbukaan, bukan malah menutup diri dari dunia luar.

Tidaklah merupakan hal yang tabu jika kita berpaling sejenak ke negara tirai bambu. Negara Tiongkok (Cina) dahulunya merupakan negara yang menutup diri dari dunia luar, dan menjadikan Cina termasuk dalam kategori sebagai negara miskin.

Setelah Cina melakukan reformasi dan membuka diri ke negara luar, Cina kini merupakan negara raksasa dalam industri dunia. Negara Cina kini menjadi negara maju dalam ekonomi dan industri yang diperhitungkan didunia. Malah kita di Indonesia menjadi kebalikannya. Setelah reformasi kita malah menutup diri.

Akibat seringnya kita mendengungkan anti aseng dan anti asing, membuat para investor asing ragu untuk berinvestasi di Indonesia.

Menurut laporan Bank Dunia mengungkapkan pada tahun 2018, dari 33 pabrik Cina yang melakukan rekolasi keluar dari Cina. Sebanyak 23 pabrik rekolasi kenegara Viatnam, sisanya ada yang kenegara Malaysia, Meski dan lainnya. Sedangkan Indonesia satupun tak dilirik oleh investor Cina (CNBC Rabu 20 September 2019).

Akibat tidak diliriknya Indonesia oleh para investor Cina dan negara lainnya jelas membuat Presiden Jokowi merasa gusar. Karena untuk melanjutkan pembangunan perekonomian Indonesia kedepan diperlukan investasi dari para investor asing.

Negeri Para Nabi

Kegusaran Presiden Jokowi terhadap tidak diliriknya Indonesia oleh para Investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, memang cukup beralasan karena melihat kerja investasi Indonesia masih mati suri.

Investasi asing yang lazim disebut sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke Indonesia selama periode pertama pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla (JK) tidak memperlihatkan peningkatan yang signifikan bila dibanding dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Rata rata nilai PMA diera Presiden Jokowi hanya naik 1 persen per tahun. Jauh lebih rendah saat Indonesia dipimpin oleh SBY yang rata rata pertumbuhannya sekitar 18 persen pertahun.

Realisasi PMA pada tahun 2010 awal periode kedua kepemimpinan SBY mencapai 16,21 miliar dolar AS. Sedangkan diakhir periode jabatan SBY sebagai Presiden pada tahun 2014 realisasi PMA tercatat mencapai 28,53 miliar dolar AS, atau naik 76 persen.

Sementara Jokowi pada tahun pertamanya dilantik sebagai Presiden Indonesia mencatat angka realisasi PMA sebesar 29,27 miliar dolar AS pada tahun 2015. Kemudian pada tahun 2018 menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi periode pertama realisasi PMA hanya mencapai 29,30 miliar dolar AS atau naik tipis sebesar 0,1 persen.

Rendahnya PMA yang masuk ke Indonesia memiliki dampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Jika dibanding dengan nilai PMA pada tahun 2015 sebesar 29,27 milyar dollar AS berhasil membuka lapangan kerja baru dengan menyerap sekitar 930,905 tenaga kerja di Indonesia. Namun pada tahun 2018 nilai PMA sebesar 29,30 milyar dollar AS hanya mampu menyerap 409,368 tenaga kerja, berarti terjadi penurunan sebesar 47 persen. Jika ditarik kesimpulan dampak investasi asing terhadap penyerapan tenaga kerja diera Jokowi sangatlah kecil.

Terjadinya penurunan jumlah PMA yang masuk ke Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, terutama persoalan klasik yang belum tuntas, seperti perizinan dan birokrasi yang berbelit belit, termasuk persoalan anti aseng dan anti asing yang didengung dengungkan, sehingga menimbulka keraguan bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Anti aseng dan asing yang kerap didengung dengungkan oleh para elit, jelas mempunyai dampak terhadap lajunya investasi. Anti aseng dan asing dapat menghambat lajunya investasi. Maka oleh karena itu berhentilah mengkoar koarkan tentang anti aseng dan asing, karena itu bukanlah cinta keagamaan, tapi melainkan emosi keagamaan.

Negara Arab Saudi yang memiliki dua tempat suci umat Islam, dan Negeri tempat lahirnya para Nabi, rakyatnya masih dapat untuk menerima kemajemukan. Arab Saudi terbuka bagi investor asing yang mau menanamkan investasi, padahal Arab Saudi adalah negara kaya yang bergelimang Riyal dan Dinar dari hasil minyaknya, toh masih membuka pintu bagi investor asing yang tidak seaqidah dengan rakyatnya.

Sementara kita di negara Indonesia, dimana menurut Bung Karno, negeri ratna mutu manikam, sementara Soeharto bilang Indonesia adalah negeri gemah rifah loh jenawi tata tenteram tata raharja yang memiliki Sumber Daya Alam (SDM) yang melimpah, tapi belum mampu untuk kita olah, karena Sumber Daya Manusia (SDM) kita yang masih rendah. Toh masih sanggup kita menolak kehadiran investor asing. Sementara negeri ini masih memerlukan investasi asing yang dapat menguntungkan negara dan rakyatnya. Semoga!.

Pengirim: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement