Rabu 18 Sep 2019 19:25 WIB

Solusi Sempurna Problem Narkoba

Sanksi hukum bahkan celah grasi masih belum bisa menjadi solusi problem narkoba

Stop Narkoba (ilustrasi)
Foto: Republika
Stop Narkoba (ilustrasi)

Membahas problem narkoba, seakan menjadi kasus abadi yang tak kunjung menemukan solusi pasti hingga kini. Berbagai penanganan yang dilakukan oleh pihak berwenang membuktikan belum adanya pengurangan angka pengguna maupun pengedar. Sebaliknya, bertambah tahun semakin banyak saja korban dan pengedar narkoba dengan berbagai jenisnya. khususnya di wilayah Jawa Timur, yang notabene ia terkenal sebagai ikon provinsi seribu pesantren, yang santrinya banyak berdatangan seantero nasional, bahkan hingga internasional.

Data selama bulan Agustus-September 2019 ini, banyak kasus narkoba yang diberitakan media. Seperti yang dilansir Antara news.com pada Senin, 26 Agustus 2019 yang lalu, bahwa Polresta Malang, Jawa Timur, telah menyita barang bukti berupa pil koplo sejumlah 44.000 pil yang siap edar senilai puluhan juta rupiah dari tangan tersangka pengedar narkoba.

Begitu pula, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Kanwil DJBC) Jawa Timur I memusnahkan barang bukti narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba) jenis sabu-sabu asal Malaysia seberat total 24,45 kilogram. (Antara, 3 September 2019)

"Barang bukti yang kami musnahkan ini merupakan hasil tangkapan dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jawa Timur selama dua bulan terakhir," kata Kepala Kanwil DJBC Jawa Timur I Mohammad Purwantoro kepada wartawan di sela kegiatan pemusnahan di Surabaya.

Tak jauh berbeda, Petugas Kepolisian Resor Kota Sidoarjo, Jawa Timur, menangkap sebanyak 93 orang pengedar narkoba berbagai jenis selama periode 15 Juli sampai dengan 26 Agustus 2019. (Antara, 2 September 2019)

Mirisnya, korban yang berjatuhan pun bukan hanya orang dewasa, tapi sudah merambah sampai kepada para remaja kita. Para pelajar, yang notabene mereka lah kelak penerus estafet perjuangan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini.

Sejumlah pelajar SLTA menjalani rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Tuban. Rehabilitasi tersebut terhitung mulai Januari hingga Agustus 2019.

Kepala BNNK Tuban AKBP I Made Arjana mengatakan, para pelajar yang direhabilitasi tersebut karena kecanduan obat terlarang dikutip dari Tribun Jatim, 30 Agustus 2019. Maka, layak menjadi perenungan bersama, kenapa kasus ini belum bisa tuntas hingga akarnya?

Ternyata, memang hukum yang dijalankan oleh negara untuk menangani kasus narkoba ini, belum benar-benar memberikan efek jera bagi pelaku penyalahgunaan maupun pengedarnya.

Maka, ketika hukum belum tegas menindak mereka, lingkaran setan ini akan terus berputar, dan memunculkan masalah-masalah cabang. Sebagai contoh adalah adanya  'hidden victim'. Yaitu, para penyalah guna yang lebih takut dengan sanksi sosial dari masyarakat atau stigma negatif masyarakat, jika ketahuan dirinya adalah pengguna,  sehingga yang terjadi  justru malah disembunyikan oleh dirinya sendiri atau oleh keluarganya, inilah yang disebut sebagai 'hidden victim'.

Inilah yang terjadi, ketika negara ini tidak diatur dengan hukum yang adil. Yaitu hukum dari Dzat Yang Maha Adil, Allah SWT. Akan mustahil mewujudkan masyarakat yang bersih dari narkoba jika hukum yang digunakan saat ini masih hukum buatan manusia yakni demokrasi dengan akidah sekulerismenya. 

Semakin jauh masyarakat dari nilai-nilai amar makruf nahi munkar karena telah terpapar ide Hak Asasi Manusia. Sekulerisme telah menyuburkan gaya hidup individualis, hedonis dan permisif. Itu urusanmu bukan urusanku. My body is my right.

Prinsip hidupnya bukan lagi halal haram melainkan "uang saya sendiri, badan saya sendiri, maka terserah saya". Keluarga penyalahguna pun malah melindungi si pelaku.

Sanksi hukum yang diberlakukan bagi para pengedar dan bandar narkoba pun masih sangat lunak. Di dalam sistem saat ini, mereka mendapatkan peluang  pengurangan masa tahanan, bahkan mereka tetap dapat mengontrol penyebaran narkoba dari balik jeruji besi. 

Dengan dalih HAM, hukum vonis mati bisa dibatalkan. Anggapan bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera jelas tidak didukung bukti. Faktanya, karena hukuman tersebut tidak pernah diketahui oleh masyarakat umum secara terbuka, wajar saja efek jera nya belum terasa.

Hukuman atas kejahatan narkoba yang tidak memberikan efek jera itu justru makin memperparah masalah. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Wajar saja jika rehabilitasi pecandu narkoba dan pemberian grasi kepada pengedar dan bandar dinilai bisa melemahkan pemberantasan narkoba. Pemberantasan narkoba yang terus digencarkan BNN pun akan bernilai tidak efektif karena sama sekali tidak memberikan efek jera teradap pelakuknya, sedang disisi lain Indonesia terus menjadi incaran sindikat narkoba maka tidak aneh jika kasus narkoba tiap tahun mengalami peningkatan yang sangat pesat.

Dibutuhkan sistem hukum yang memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan narkoba baik pencandu, pengedar apalagi bandar. Sebuah sistem hukum yang kebal uang dan berfungsi sebagai pemberi efek jera kepada pelaku kejahatan tanpa terkecuali. Sistem hukum seperti ini bisa kita dapatkan jika kita menginduk kepada aturan Islam.

Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât menyatakan, tidak ada pemaafan atau pengurangan hukuman. Beliau juga menyatakan, jika vonis telah ditetapkan maka hal tersebut mengikat seluruh masyarakat sehingga tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah atau diringankan ataupun yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah.

Selain dua aspek di atas, pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu kejahatan dan dijatuhkannya vonis. Pelaksanaan hukuman hendaknya disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina sehingga masyarakat memahami bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan tersebut.

Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan ataupun pengedaran narkoba akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan syariah Islam secara sempurna.

Sistem hukum yang digunakan Indonesia saat ini sudah tidak mempan untuk memberantas kejahatan narkoba dan hampir mustahil diharapkan. Pemberian grasi untuk Corby dan Ola adalah bukti nyata hukuman bagi pelaku kejahatan narkoba begitu lemah. Dengan keadaan yang terus seperti itu artinya kejahatan narkoba akan terus mengancam seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Wallahu a'lam bis showab.

Pengirim: Ilfa Al Adibah, S.S, Dewan Pengasuh MT. Ar Rahmah, Pare-Kediri

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement