Rabu 18 Sep 2019 19:09 WIB

Ketika Paru-Paru Dunia Terbekap Asap

Kasus Karhutla dinilai ironis karena Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia.

Pengendara kendaraan bermotor melintas di jalan Soekarno Hatta ketika kabut asap pekat dampak karhutla menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (17/9/2019).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Pengendara kendaraan bermotor melintas di jalan Soekarno Hatta ketika kabut asap pekat dampak karhutla menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (17/9/2019).

Karhutla masih berlangsung di Sumatra dan Kalimantan. Sejumlah kota dilanda kabut asap. Di Pekanbaru, nafas lega adalah barang mahal dan langka. Di kota Tarakan, kabut asap semakin parah hingga mengakibatkan sejumlah penerbangan tertunda.

Di Palembang, bahkan telah memakan korban jiwa. Ini hanya secuil dari kota-kota yang belakangan hari ini memiliki kualitas udara berbahaya akibat kabut asap yang berhulu dari kebakaran hutan dan lahan.

Senasib dengan ibu kota Riau, adalah Kabupaten Siak di sebelah timur. Dua kawasan tersebut mencatat rekor indeks standar pencemar udara (ISPU) terburuk dengan skala 500 hingga 800 PSI (pollutant standards index). Padahal, ISPU lebih dari 300 saja sudah dinyatakan hitam alias berbahaya bagi kesehatan siapa saja. Tak kenal usia atau jenis kelamin.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup, 49.266 hektare hutan dan lahan terbakar di Riau pada periode Januari sampai Agustus tahun ini. Ada enam provinsi lain yang ribuan hektare hutan dan lahannya mengalami petaka serupa. Tapi, Riau yang terparah. Laporan harian dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan data yang kian mencengangkan. Indeks PM (partikel mikron/semakin banyak partikel ini, semakin buruk kualitas udara) 2.5 udara Pekanbaru menyentuh angka dramatis: 331 alias berbahaya.

Mengutip Riau Pos, mulai awal tahun ini tercatat 281.626 orang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Khusus September saja, sampai pekan kedua, jumlahnya menembus 4.306 orang.

Namun, yang tak kalah menyesakkan nafas di dada sekaligus membuat berang, di sebuah media diberitakan bahwa tiga pembakar hutan di Riau mengaku dibayar pengusaha. Memang, musim kemarau seperti saat ini kerap dimanfaatkan untuk membuka ladang baru. Sayangnya, cara yang ditempuh merugikan banyak pihak, yakni dengan membakar hutan. Polresta Barelang Batam berhasil menangkap tiga pelaku pembakaran hutan. Ketiganya diringkus, saat hendak membuka lahan di Bukit Bismilah Galang. Menurut pengakuan mereka, ada pengusaha Batam yang memberi uang untuk melakukan hal itu.

Sementara di media yang lain, diperoleh berita yang menguatkan fakta ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menduga ada perusahaan asing yang terlibat dalam kasus karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Perusahaan asing itu diduga berasal dari Singapura dan Malaysia. 

Meski demikian, menurut pantauan melalui helikopter, dari sekian ribu hektare luas lahan yang terbakar, tidak satu pun melahap lahan perkebunan sawit dan tanaman industri lainnya. Jadi semakin jelas, kasus karhutla ini menunjukkan adanya praktik land clearing dengan mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau. Atas temuan ini, jelas karhutla murni karena ulah manusia.

Kasus karhutla ini sungguh ironis. Indonesia, sejak dulu telah dikenal sebagai paru-paru dunia. Kawasan hutan Indonesia mencapai 162 juta hektar dan lahan hutan terluas terdapat di Papua (32,36 juta hektare). Lokasi hutan Indonesia lainnya terdapat di Kalimantan (28,23 juta hektare), Sumatra (14,65 juta hektare), Sulawesi (8,87 juta hektare), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta hektare), Jawa (3,09 juta hektare), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta hektare).

Hutan hujan tropis di Indonesia memiliki peranan penting bagi dunia. Hutan hujan tropika terbentuk di wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1.750 millimetre (69 in) dan 2.000 millimetre (79 in). Sedangkan rata-rata temperatur bulanan berada di atas 18 derajat C (64 derajat F) di sepanjang tahun. Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling kaya, baik dalam arti jumlah jenis makhluk hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang dimilikinya.

Hutan dataran rendah ini didominasi oleh pepohonan besar yang membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), sekurang-kurangnya tinggi tajuk teratas rata-rata adalah 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun.

Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brasil dan Kongo. Keanekaragaman flora fauna pada hutan hujan tropis sangat bermanfaat bagi industri farmasi, kerajinan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan. Manfaat lainnya adalah menjaga fungsi tata air, menyerap dan menyimpan karbondioksida, sumber air bagi kebutuhan makhluk hidup, memperlambat pemanasan global, dan dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Jelas, hutan Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia yang sangat penting peranannya bagi kehidupan isi bumi. 

Namun, Indonesia semakin menjadi perhatian dunia, karena kerusakan sumber daya hutan (deforestasi) yang benar-benar parah. Hijaunya alam Indonesia kian hari kian menyusut akibat pemanfaatan hutan tak terkendali. Pada tahun 2011 saja, laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Penyebab kebakaran di Indonesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia.

Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utama karhutla. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat pembersih lahan yang murah, mudah dan cepat, menjadi inti dari penyebab kebakaran. Karena itu, bisa dikatakan bahwa negeri paru-paru dunia ini tengah sakit paru-paru. Sesak nafas akibat bekapan kabut asap.

Sampai di sini, sejatinya hal ini tak bisa dilepaskan dari sistem kebijakan yang menanungi negeri ini. Kondisi karhutla yang berimbas ke ranah domestik hingga luar negeri menyebabkan pemerintah Indonesia terpojok. Lambatnya respon dan penanganan dari pemerintah telah membuat korban kabut asap menjadi jengah.

Musibah yang selalu berulang seperti karhutla, yang semakin hari semakin parah, maka pasti ada faktor non teknis yang terlibat. Dan kalau soal non teknis itu ternyata terkait banyak hal, bisnis, sosial, budaya, hingga politis, maka pasti ada akar masalah yang lebih mendalam. Inilah musibah yang berakar pada sistemis ideologis. Yakni ideologi kapitalisme liberal yang meyakini bahwa distribusi barang dan jasa yang terbaik adalah yang menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar. Negara jadi regulator saja, tidak ikut jadi pemain.

Inilah yang kemudian menjadikan hutan dikonsesikan ke swasta, lalu swasta itu tinggal bayar pajak. Tapi swasta tentu saja akan lebih berpikir apa yang mendatangkan profit dalam masa konsesi miliknya. Selebihnya, swasta tidak akan berpikir soal lingkungan. 

Musibah tersebut seharusnya menyadarkan manusia, terkhusus para penguasa, akan kesalahan mereka. Ini semata mereka segera kembali ke jalan yang benar. Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS ar-Rum [30]: 41).

Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalisme-demokrasi saat ini. Pasalnya, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya..

Berbeda dengan Islam, pengelolaan hutan diposisikan pada hakikat hutan sebagai milik umum. Pengelolaan ini harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Bukan oleh dan untuk swasta. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan itu sendiri. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.

Pengirim: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement