Senin 16 Sep 2019 14:01 WIB

Penyelesaian Konflik Panjang Bumi Cenderawasih

Referendum bukan solusi penyelesaian konflik panjang di Papua

Dua personil Brimob berada di dekat kendaraan yang terbakar di Jayapura, Papua, Jumat (30/8/2019).
Foto: Antara/Gusti Tanati
Dua personil Brimob berada di dekat kendaraan yang terbakar di Jayapura, Papua, Jumat (30/8/2019).

Bumi Cenderawasih kembali membara. Provinsi kaya paling timur Indonesia ini semakin hari menyuarakan ketidakadilan pemerintah pusat dengan provokatif.

Ketua KNPB Victor Yeimo menyerukan  untuk melakukan mogok sipil nasional di wilayah Papua Barat. "untuk mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat," kata dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Konflik panjang Irian Jaya sejak masa kemerdekaan melengkapi sejarah panjang negeri ini. Seruan referendum selalu menjadi alternatif akhir dari sebuah konflik panjang. Timor Leste  sebelum berpisah dari Indonesia juga melakukan hal yang sama. Setelah insiden bersenjata, referendum menjadi senjata pamungkas bagi sekelompok pemberontak yang ingin memerdekakan dirinya.

Papua (dulu Irian Jaya) adalah provinsi kaya yang menarik magnet negara lain untuk menguasainya. Godaan sumber daya alam yang luar biasa membuat Papua menjadi bidikan sejumlah investor luar negeri.

Belum lagi alam Papua yang misterius dan eksotik, sumber daya manusia yang polos dan naif mudah untuk dipengaruhi. Ditambah dengan kesenjangan pembangunan dari pemerintah pusat menjadikan Papua gampang untuk diprovokasi menyuarakan kemerdekaan.

Sebelum usulan referendum di gulirkan serangkaian konflik bersenjata telah dilakukan oleh barisan kelompok tidak dikenal. Seruan referendum tak tangung-tangung meminta internasional untuk mengawasi prosesnya.

Jika pemerintah pusat mengabulkan permintaan ini, maka bisa dipastikan Papua akan segera lepas dari Indonesia sebagaimana Timor-Timur. Dan hasil lainya akan memengaruhi wilayah lain untuk melakukan hal yang sama. Bagi KNPB pemerintah Jakarta adalah penjajah bagi Papua, maka satu-satunya jalan 'merdeka' dari Indonesia.

Referendum bukanlah solusi bagi Papua. Yang harus dilakukan oleh Jakarta adalah menggali akar masalah konflik dan menyelesaikan akar masalah tersebut dengan kebijakan. Jika yang menjadi akar masalah adalah kesenjangan pembangunan, maka langkah yang dilakukan Jakarta adalah berbenah.

Membuka ruang dialog dengan meminta sejumlah perwakilan rakyat Papua untuk membahas apa saja yang dibutuhkan Papua untuk mengejar ketertinggalannya. Setelah itu aksi nyata dengan langkah signifikan, bukan sekedar tulisan dalam sebuah kertas kerja semata.

Jakarta harus benar-benar waspada akan aksi seruan referendum ini. Memungkinkan banyak pihak 'bermain' di Bumi Cenderawasih, terutama asing. Bisa dikatakan referendum sama dengan makar atau pemberontakan. Maka Jakarta sebagai pemerintah pusat yang bertangungjawab atas seluruh wilayah Indonesia juga harus tegas dan waspada terhadap ancaman berkedok 'referendum'.

Tugas utama pemerintah adalah mengurusi urusan masyarakat. Bukan sekedar mengambil sumber daya alam, memanfaatkannya kemudian menelantarkan penduduk wilayah tersebut, apalagi untuk memperkaya para pejabat daerah dan pusat. Wallahu 'alam bisshawab.

Pengirim: Dwi Agustina Djati, tinggal di Semarang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement