Selasa 10 Sep 2019 18:47 WIB

Bukan Lagi Kota yang Layak Bagi Anak

Di kota layak anak seharusnya Narkoba dan kekerasan tidak terjadi

Ilustrasi Kekerasan Anak
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan Anak

Seorang santri bersimbah darah pada Jumat, (6/9) di Jalan Cipto Mangunkusumo Cirebon, Jawa Barat. Luka tikaman senjata tajam oleh pemalak, akhirnya membuatnya menghembuskan nafas terakhir. Kepergiannya meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga dan kalangan Pondok Pesantren (Ponpes) Husnul Khatimah.

Tak lama kemudian, kurang dari 24 jam, Wakapolresta Cirebon Kompol Marwan Fajrian, mengatakan telah membekuk pelaku penusukan terhadap korban bernama Muhammad Rozien (17 tahun). Kedua pelaku, berinisial YS (19 tahun) dan RM (18 tahun) merupakan warga Kelurahan/Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon, Jawa Barat. 

Kejadian tragis ini terjadi pada malam hari pukul 20.35 waktu setempat. Saat itu jalan masih ramai, banyak orang lalu lalang, lalu lintas pun padat. Dan yang lebih memprihatinkan adalah, santri kelas XII ini tewas terbunuh di kota yang baru saja mendapat penghargaan sebagai Kota Layak Anak (KLA).

Penghargaan Madya yang diberikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, Yohana Yambise ketika memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2019 di Kota Makassar, Selasa (23/7), diterima oleh Wakil Wali Kota Cirebon, Dra. Hj. Eti Herawati. (Cirebonkota.go.id, 24/7).

Prestasi ini seharusnya benar-benar membuat seluruh anak di Cirebon, berjaya. Akan tetapi yang terjadi, sungguh jauh panggang dari api. Seorang santri yang menunggu kedatangan ibunya, akhirnya meregang nyawa di Kota Layak Anak, sulit dicerna oleh akal. Begitupun pelaku kejahatan, usia tak jauh dari korban. 

Pelaku dan korban, adalah anak usia belia yang berhak atas pengurusan yang tepat dari penguasa. Apalagi belakangan diketahui, kedua pelaku yang berinisial YS dan RM mengakui menggunakan tramadol saat akan beraksi. Mereka mengkonsumsi obat terlarang. Pengaruh obat itu membuat mereka berani mengeksekusi korban di tengah keramaian jalan protokol Cipto Mangunkusumo.

Di sebuah kota yang layak bagi anak, bukankah seharusnya barang haram tersebut dilarang. Sebab obat terlarang, akan melumpuhkan akal pikiran yang menjadi sandaran seseorang memutuskan sebuah perkara. Pengguna bisa melukai siapa saja. Rozien salah satunya. Bisa jadi kemudian menimpa orang lain.

Predikat Kota Layak Anak terbukti tidak benar-benar layak bagi anak, selama  berasaskan sekularisme. Sebab diharapkan, kota tersebut mampu melindungi hak-hak anak, memberi perhatian dan fasilitas, serta ruang yang nyaman bagi anak. 

Kota yang ideal bagi anak adalah kota yang di dalamnya diterapkan aturan Islam. Di tangan seorang pemimpin yang bertakwa, penjagaan hak anak akan terjamin. Sebab ia bertanggung jawab pada Allah atas seluruh aktivitas kepemimpinannya. Tidak hanya memenuhi kebutuhan lahir dan batin anak-anak. Juga memberi kesempatan pada mereka untuk berperan optimal bagi bangkitnya sebuah negeri dan peradaban. Wallahu 'alam.

Pengirim: Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement