Senin 09 Sep 2019 15:00 WIB

Kebijakan Harus Bijak, Jangan Zalim

Kebijakan kenaikan tarif BPJS zalim karena dua kali lipat dan tanpa persetujuan rakya

Seribuan massa dari Aliansi Muslim Indonesia Raya (AMIR) melakukan aksi damai di depan Gedung DPRD Kota Sukabumi, Jumat (6/9) siang. Mereka menolak rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan.
Foto: Republika/Riga Nurul Iman
Seribuan massa dari Aliansi Muslim Indonesia Raya (AMIR) melakukan aksi damai di depan Gedung DPRD Kota Sukabumi, Jumat (6/9) siang. Mereka menolak rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan.

Rakyat yang sehat adalah salah satu aset penting dalam majunya sebuah peradaban. Tidak ada sejarah yang menuliskan peradaban besar dan maju memiliki pelayanan kesehatan yang rendah. Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Potensi sumber daya manusianya pun luar biasa.

Bahkan dikatakan tahun 2020 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Potensi yang luar biasa ini seharusnya ditingkatkan kualitas hidupnya agar mampu memajukan negeri. Namun sungguh miris, alih alih kualitas hidupnya ditingkatkan, justru jaminan kesehatan di negeri ini semakin sulit dinikmati oleh rakyatnya. 

Baca Juga

Kenaikan tarif BPJS jelas sebuah kebijakan yang dzalim. Apalagi besaran kenaikannya dua kali lipat dan tanpa meminta persetujuan rakyat.

Hal ini sebuah keoptimisan terhadap perekonomian rakyat atau kematian akal sehat? Terlebih tidak ada jaminan naiknya premi iuran berbanding lurus dengan naiknya kualitas layanan. 

Bukankah negara yang seharusnya menjadi penanggung jawab kesehatan masyarakat? Mengapa justru masyarakat yang harus menjadi tumbal menutup defisit anggarannya? Tidakkah pemerintah dengar banyak teriakan masyarakat yang sudah payah membayar iuran sebelum dinaikkan?

Bahkan fakta di lapangan banyak pula yang ingin berhenti karena tak sanggup membayar tunggakan. Jika lagi-lagi dinaikkan bukankan semakin menyulitkan masyarakat kecil?

Slogan "Pelayanan Kesehatan Untuk Semua"-pun menjadi omong kosong. Nyatanya masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kemampuan ekonominya. Adanya klaster pelayanan sesuai besaran iuran seolah mewajarkan orang miskin mendapat pelayanan 'seadanya' dan orang kaya bisa mendapatkan pelayanan optimal.

Bukankan orang kaya dan orang miskin sama-sama manusia yang ingin sehat? Bapak ibu yang saat ini diamanahi jabatan, renungilah peringatan Allah ini: "Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.''(QS Asysyura [42]: 42).

Ryang Adisty Farahsyita, Sleman Wiraswasta

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement