Jumat 06 Sep 2019 01:03 WIB

Bayang-bayang Resesi yang Selalu Menghantui

Bayang-bayang resesi mulai terasa khususnya di Amerika Serikat

Seorang mengunjung memotret layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (28/6/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Seorang mengunjung memotret layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (28/6/2019).

Amerika Serikat terancam mengalami resesi ekonomi. Indikasinya adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat. Menurut National Association of Business Economics, perlambatan ekonomi di Amerika Serikat bakal berlangsung selama dua tahun. Perlambatan tersebut dimulai dari tahun 2019 dengan pertumbuhan ekonomi 2,4 persen. Kemudian pada tahun 2020 turun menjadi 2 persen.

Gejala resesi ekonomi di Amerika Serikat juga diperkuat dengan adanya inversi yield obligasi. Seperti yang diberitakan CNBC, yield obligasi tenor 3 bulan di Amerika Serikat lebih tinggi daripada yield obligasi tenor 10 tahun.

Jika Amerika Serikat mengalami resesi ekonomi, dampak buruknya akan berimbas ke mana-mana, termasuk Indonesia. Ini bukanlah resesi  pertama yang terjadi. Dalam catatan yang dihimpun oleh Investopedia, ada 33 resesi yang pernah terjadi di Amerika Serikat sejak tahun 1854. (www.moneysmart.id, 28/3/2019)

Apa Itu Resesi? National Bureau of Economic Research (NBER) mendefinisikan resesi sebagai "periode jatuhnya aktivitas ekonomi, tersebar di seluruh ekonomi dan berlangsung selama lebih dari beberapa bulan".

Namun secara umum, resesi adalah ketika ekonomi menurun secara signifikan, setidaknya selama enam bulan. Penurunan itu biasanya menyerang lima indikator ekonomi, yaitu PDB (Pendapatan Domestik Bruto) riil, pendapatan individu, pekerjaan, manufaktur, dan penjualan ritel.

Resesi juga sering didefinisikan sebagai tingkat pertumbuhan PDB yang negatif dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih. (CNBC Indonesia, 23/8)

Resesi akan senantiasa berulang selama sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem kapitalis. Ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. 

Pertama, ekonomi kapitalis merupakan monetary based economy. Artinya, ekonomi kapitalis adalah ekonomi berbasis sektor moneter atau keuangan yang merupakan sektor non riil. Keuntungan ekonomi tidak diperoleh dari kegiatan investasi produksi barang dan jasa. Keuntungan itu diperoleh melalui investasi spekulatif dalam sektor non riil. Misalnya, melalui kredit perbankan serta jual beli surat berharga seperti saham dan obligasi. Dengan ekonomi berbasis moneter seperti ini, kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari riba.

Karena berbasis riba, sistem moneter ini justru membahayakan sistem keuangan secara keseluruhan. Akan ada obligasi yang tidak dibayar (default)  dan kredit macet. Jumlahnya pun akan  terus bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini akan mempengaruhi sektor riil dan perekonomian secara umum. 

Kedua, ekonomi kapitalis adalah ekonomi berbasis flat money atau uang kertas. Sejak dolar AS tidak lagi dikaitkan dengan logam mulia pada tahun 1970-an, mata uang yang berlaku hanya berlandaskan pada kepercayaan. Karena tidak ditopang dengan logam mulia, nilai intrinsik  uang kertas tidak sama dengan nilai nominalnya. Karenanya, uang kertas mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terkena inflasi permanen.

Ketiga, ekonomi kapitalis merupakan ekonomi berbasis utang. Utang yang dilakukan oleh negara-negara pengemban kapitalis maupun negara-negara berkembang dari tahun ke tahun terus meningkat. Saat utang semakin membebani negara, negara bisa saja mencetak uang baru. Hal ini akan menyebabkan inflasi. Inflasi yang terjadi di negara besar, akan berdampak pula pada negara berkembang.

Ketiga hal inilah yang berperan dalam mendukung eksistensi ekonomi kapitalis. Ketiganya bersinergi untuk menutupi cacat bawaan sistem ekonomi kapitalis yang rapuh dan mudah tergoncang.

Saat terjadi resesi, negara akan melakukan upaya untuk menyelamatkan perekonomiannya. Ada 3 langkah yang dilakukan. 

Pertama, menyuntikkan miliaran dolar untuk menyehatkan likuiditas bank dan lembaga keuangan. Kedua, membeli saham, obligasi, dan surat berharga yang telah kehilangan sebagian besar nilainya. Ketiga, menurunkan suku bunga agar kredit meningkat sehingga menggerakkan kegiatan usaha di sektor riil.

Meskipun langkah-langkah ini dianggap mampu menyehatkan perekonomian, sejatinya hanya kesehatan semu yang didapat. Krisis akan kembali terjadi. Hal ini karena solusi yang diambil hanya mampu mengobati gejala sakitnya. Sementara sumber penyakitnya tidak tersentuh.

Karena itu, sistem seperti ini tidak seharusnya diterapkan dan terus dipertahankan. Sudah selayaknya sistem ini diganti dengan sistem yang berasal dari Alkhaliq Almudabbir, yaitu sistem ekonomi Islam.  

Dengan sistem ini,  tidak akan terjadi lagi resesi akibat ulah segelintir pemodal pemburu rente. Perekonomian juga lebih hidup karena berpijak pada sektor riil. Kesejahteraan tiap individu juga akan  terjamin karena distribusi kekayaan akan merata.

Karena itu, sudah selayaknya jika setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mengupayakan terwujudnya sistem ini. Agar rahmat Allah tersebar ke seluruh alam. Wallaahu a'lam bishshawaab.

Pengirim: Mariyatul Qibtiyah, S.PD, Akademi Menulis Kreatif

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement