Jumat 06 Sep 2019 00:28 WIB

RUU-PKS, Benarkah Liberalisasi Perilaku Perempuan?

Liberalisasi perilaku terlihat dari kebebasan orientasi seksual dalam draf RUU-PKS

Para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan melakukan aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, Ahad (21/7).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan melakukan aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, Ahad (21/7).

Sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi dalam menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juli lalu. Aturan dalam RUU itu dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas. (Medcom.id/kaustar, 14 Juli 2019)

Berita tentang penolakan RUU-PKS sejujurnya sudah berlangsung sejak lama, bukan hanya dua bulan lalu saja. Banyak kalangan mencurigai agenda tersembunyi dari diajukannya draf RUU tersebut. Organisasi perempuan Aliansi Cerahkan Negeri adalah salah satu elemen masyarakat yang gerah dengan RUU-PKS ini. Jika ditilik dari pasal-pasalnya memang seakan melindungi perempuan.

Baca Juga

Dalam RUU-PKS merumuskan sembilan jenis tindak pidana yang disebut sebagai “Kekerasan Seksual” meliputi: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi,  perkosaan, pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan  penyiksaan seksual. Hal tersebut termaktub dalam Bab V pasal sebelas.

Perlu untuk diketahui bahwa draf RUU ini banyak mengandung pasal karet yang sejatinya menggiring para perempuan ke arah liberalisasi perilaku. penafsiran dalam bab V tentang 'Kekerasan Seksual' saja tampak sudah cukup untuk menguak penumpang gelap tersebut.

Hal ini bisa diartikan bahwa setiap perempuan berhak menolak hubungan intim dengan suaminya jika dia tidak setuju. Padahal menurut syariah, setiap istri wajib untuk melayani suami dan selama suami memperlakukan dengan baik, maka sah-sah saja.

Belum lagi masalah kebebasan orientasi seksual. RUU-PKS juga menjaminnya. Bukankah ini justru melegalkan para pelaku LGBT? Maka wajar saja jika banyak kalangan menilai RUU-PKS hanyalah kedok dari kalangan liberal untuk menjadikan perilaku bebas para pelaku sesama jenis sah di negeri muslim ini.

Dari dilegalkannya perilaku ini, maka jalan lapang tentang pernikahan sejenis akan tercapai. Lalu dimana Marwah kita sebagai negeri muslim terbesar di dunia?

Saat segala sesuatu yang bertentangan dengan syariah begitu bebas berkeliaran tanpa penghalang. Para ulama di cap ortodox karena menolak perilaku binatang mereka. Kini mereka berusaha menghancurkan umat lewat jalur legal Undangane negara. Tidakkah kita gelisah melihat perkembangan ini?

Bagaimana dengan nasib generasi masa depan umat? Mereka dipotong sebelum tunas mereka berkembang sempurna. Sungguh ironis. Wajib bagi kita untuk menolak draf RUU-PKS ini. Selamatkan negeri dari para perusak generasi. Wallahu'alam bi Showab

Pengirim: Dwi Agustina Djati, Tinggal di Semarang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement