Rabu 04 Sep 2019 18:01 WIB

Peneliti Asia-Eropa Kumpul di Yogyakarta Bahas Dampak Riset

Selama ini, riset-riset yang ada di di Indonesia masih didominasi riset dasar.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Konferensi Pers Repesea Final Project Conference di FEB UGM, Rabu (4/9).
Foto: Wahyu Suryana.
Konferensi Pers Repesea Final Project Conference di FEB UGM, Rabu (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Repesea Final Project Conference digelar di Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), dan University of Economics in Bratislava menjadi tuan rumah konferensi tersebut.

Konferensi membahas asesmen dampak dan kualitas riset-riset dari perguruan tinggi. Kegiatan berlangsung di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada 4 dan 5 September 2019.

Ini jadi akhir konsorsium Erasmus+ Repesea yang merupakan kerja sama 11 universitas tujuh negara Asia-Eropa. Mereka tergabung di Capacity Building in Higher Education yang didanai Uni Eropa.

Melibatkan perguruan tinggi Indonesia, Malaysia, Thailand, Polandia, Perancis dan Inggris. Kerja sama sudah berlangsung tiga tahun mulai Oktober 2016 dan akan berakhir pada Oktober 2019.

Konferensi yang secara keseluruhan berlangsung sejak 2 September itu diikuti 130 lebih periset universitas dalam dan luar negeri. Rektor UII, Fathul Wahid mengatakan, kerja sama itu memiliki dua luaran.

Ada modul pelatihan untuk periset-periset muda dan rekomendasi untuk perbaikan asesmen kinerja riset. Fathul menekankan, rekomendasi itu akan disampaikan langsung ke Jakarta.

"Policy Paper akan dikirim ke Jakarta, kita sudah pula melakukan pembicaraan dengan Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Ristek-Dikti Ocky Karna Radjasa terkait itu," kata Fathul, Rabu (4/9).

Soal kualitas riset, ia merasa, penilaiannya memang cukup kompleks. Sebab, pengukuran kualitas akan bergantung kepada dampak dari riset-riset itu sendiri, yang tentunya memiliki nuansa yang berbeda.

Sebab, dampak itu bisa ada yang muncul segera, ada pula yang muncul jauh setelah riset dihadirkan. Namun, ia merasa, secara kuantitas produktivitas riset di Indonesia sudah sangat baik.

"Namun, pemerintah perlu memberikan dorongan yang bentuknya bisa berupa intervensi agar dampak riset-riset itu lebih luas," ujar Fathul.

Ketua Prodi Magister dan Doktor Manajemen FEB UGM, Nurul Indarti menuturkan, pada hari kedua secara paralel akan digelar lokakarya di UII. Pembahasan akan fokus kepada evaluasi kinerja periset sendiri.

Agenda itu terbuka untuk umum, tidak cuma periset-periset yang jadi bagian konsorsium. Nurul menegaskan, diseminasi yang mereka lakukan selama konferensi tidak cuma dilaksanakan secara internal. "Tapi, menjangkau mitra-mitra eksternal," kata Nurul.

Nurul mengingatkan, riset-riset sendiri memiliki dua macam. Ada yang riset dasar atau riset murni, ada pula yang merupakan riset terapan yang memang belum banyak jumlahnya di Indonesia.

Ia melihat, selama ini riset-riset yang ada di di Indonesia masih didominasi riset dasar atau riset murni. Hasilnya, tentu berupa pengembangan-pengembangan ilmu.

"Jadi, memang cara kita memahami dampak riset itu perlu pula untuk diperluas," ujar Nurul.

Koordinator dari University of Economics in Bratislava, Anetta Caplanova menilai, kualitas kolaborasi tiga tahun mereka berjalan sangat baik. Karenanya, ia meyakini luaran memberi dampak penting.

Ke depan, ia berharap, luaran dari proyek-proyek Repesea dapat pula berkontribusi terhadap kualitas riset di Asia Tenggara. Termasuk, lewat masukan untuk perbaikan instrumen pengukur kinerja riset.

"Apalagi, luaran berupa Policy Paper kita berikan untuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand," kata Anetta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement