Senin 02 Sep 2019 11:57 WIB

Mega Proyek Pemindahan Ibu Kota Negara, Mubazirkah?

Pemindahan Ibu Kota Negara terkesan untuk memberi jalan bagi investasi dan swasta

Pindah Ibu Kota ke Kalimantan.
Foto: republika
Pindah Ibu Kota ke Kalimantan.

Wacana pemindahan ibu kota negara makin nyata. Presiden Joko Widodo menyampaikan hal ini pada saat pidato kenegaraan di Sidang Tahunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 16 Agustus 2019 lalu. Jokowi meminta izin dan dukungan untuk memindahkan ibu kota ke Pulau Kalimantan. Mega proyek ini diungkapkan Jokowi demi terwujudnya pemerataan dan keadilan ekonomi.

Setelah pengumuman ini, pro dan kontra tak dapat dibendung. Anggota DPR, para politisi, tak terkecuali masyarakat, saling adu pendapat.

Baca Juga

Salah satu yang kontra adalah pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga mengatakan memindahkan ibu kota merupakan kebijakan 'mubazir' alias suatu yang sia-sia. Padahal kebutuhan pendanaannya diperkirakan mencapai Rp 323 triliun hingga 466 triliun.

Apalagi pemindahan dilakukan dengan alasan yang tidak rasional. Pemindahan ibu kota negara tidak akan serta merta menjadikan kota tersebut menjadi pusat perekonomian.

Pemerintah bisa berkaca pada Canberra, Australia dan Putra Jaya, Malaysia atau Brasilia, Brasil. Saat akhir pekan, kota-kota itu ibarat 'kota mati'. Orang-orang yang bekerja di sana, kembali ke daerahnya. Jadi tidak ada denyut kehidupan, hanya untuk pemerintahan saja. Sama sekali tidak terwujud pemerataan dan keadilan ekonomi di ibu kota yang baru.

Jika pemerintah bersikukuh ingin memindahkan ibu kota negara, maka tak salah jika ada yang berpendapat bahwa mega proyek ini demi memuaskan dahaga para konglomerat bahkan asing dalam berinvestasi. Karena pemerintah dengan tegas menyatakan akan melibatkan peran swasta lebih besar dalam pembangunan ini sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro.

Skema anggarannya adalah 54 persen dana Kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), 26 persen memakai dana swasta dan 19 persen menggunakan dana APBN. Pihak swasta berperan secara langsung sebesar 26 persen dan di bagian KPBU secara tidak langsung karena sebagian saham BUMN adalah milik swasta.  

Besarnya keterlibatan swasta dalam proyek pemerintah, membuktikan kebenaran perkataan ketua umum Nasdem, Surya Paloh bahwa Indonesia saat ini menganut sistem kapitalis liberal namun masih malu-malu kucing untuk mengakuinya. Padahal sangat jelas bahwa kapitalisme dan liberalisme bertentangan dengan ideologi pancasila. Ideologi yang katanya sudah jadi harga mati.

Pengirim: Vinci Pamungkas, Anggota Komunitas Menulis, Revowriter

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement