Ahad 11 Aug 2019 18:21 WIB

Guru Honorer Hengkang dari Sekolah Terjadi di Situbondo

Guru honorer hengkang dari sekolah terutama daerah terpencil.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Nashih Nashrullah
Guru honorer menggelar aksi unjuk rasa (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Guru honorer menggelar aksi unjuk rasa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Forum Guru & Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI) menyebutkan kasus 50 anak sekolah dasar ditinggal guru honorer di Situbondo, Jawa Timur tak hanya terjadi di kabupaten itu. 

Dia menyebut kasus serupa dan kisah sedihnya juga terjadi di hampir setiap daerah, utamanya di daerah terpencil.    

Baca Juga

Ketua Tim Investigasi Pengurus Pusat FGTHSI, Riyanto Agung Subekti, mengatakan kasus di Sutubondo merupakan segelintir masalah yang diekspose oleh media. "Kasus serupa masih banyak, terutama guru honorer yang mengabdi di Sekolah Dasar (SD) yang terpencil. Bahkan kisah sedih mereka terjadi di hampir setiap daerah Indonesia, mereka mengalami nasib yang sama," ujar Riyanto saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (11/8).

Dia menyontohkan Hifziah yang 10 tahun berprofesi menjadi guru honorer di sekolah dasar (SD) negeri 81 Desa Mekar Alam, Kabupaten Tanjung Barat, Jambi.  

Dia mengisahkan, Hifziah harus melalui jalan setapak sejauh 1 kilometer menuju dermaga yang rawan. Tak cukup sampai disitu, ia menyebut Hifziah melalui jalan berlumpur dengan tentengan sepatu dan tas di tangan. 

Riyanto juga menyontohkan kasus lain yaitu guru tidak tetap sebut saja namanya Umar Bakrie yang mengajar hingga 30 jam setiap pekan tetapi hanya mendapat upah sekitar Rp 300 ribu-450 ribu setiap bulan. 

Akhirnya karena nasib yang tak jelas dan upah yang sangat minim, Riyanto menyebut Umar akhirnya keluar dari sekolahnya di Tanah Air dan hijrah mengajar di Malaysia. Kini, nasib Umar lebih baik dan menjadi telah pengajar tetap.

Sebenarnya, dia menambahkan, semua permasalahan tentang nasib tenaga guru honorer sudah ia sampaikan kepada pemerintah.

"Namun semuanya dianggap angin lalu saja. Bahkan kami hanya dipandang dengan sebelah mata dan dijadikan obyek penderita saat pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah," katanya.

Karena itu, pihaknya meminta pemerintah agar dalam rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) Tahun 2019 agar memprioritaskan tenaga honorer kategori (THK) 2, khususnya yang sudah berusia diatas 35 tahun.

Sebelumnya empat guru honorer di SD 8 Kecamatan Arjasa, Situbondo, Jawa Timur meninggalkan tempatnya mengajar karena tidak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan gaji yang tidak mencukupi. Akibatnya, 50 murid SD tersebut terpaksa tidak belajar di sekolah dan harus belajar sendiri di rumah.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement