Jumat 09 Aug 2019 11:45 WIB

Gampang Percaya Hoaks adalah Wujud Kepandiran

orang yang gampang percaya terhadap hoaks adalah mereka yang tuna-literasi.

Rep: ayo bandung/ Red: ayo bandung
Hoaks Adalah Wujud Kepandiran
Hoaks Adalah Wujud Kepandiran

Sehari setelah proklamir merdeka, PPKI kita mengesahkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis (basic law) konstitusi Negara. Ini mengandaikan UUD 1945 adalah pondasi atau akar yang menyangga produk hukum dan kebijakan publik di atasnya. Ia menjiwai segenap suprastruktur bangsa dan Negara. 

Di UUD 1945 kita, jikai diurai amat banyak entri vital yang seyogianya jadi bahan meditatif atau cermin berkeindonesiaan kita hari ini. Salah satunya termaktub di preambule berbunyi … kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan … untuk mencerdaskan kehidupan bangsa …. Muskilnya, telahkah kita cerdas?

Betapapun banyak anasir atau parameter untuk disebut sebagai “yang cerdas”, boleh kiranya dibilang orang cerdas itu semukabalah dengan melek literasi baca tulis. Albert Einstein pesohor bidang sains itu isi batok kepalanya secara anatomis (neuroanatomy) sama belaka dengan awam sains, tetapi fakta bahwa ia cerdas diamini dunia. Mengapa? Sebab Einstein atlet otak ulung. Sejak bocah ia selalu mengasah kognisi. 

Dean Falk, dkk. dalam artikelnya “The Celebral Cortek of Albert Einstein” (researchgate.net) menyebut Einstein sebagai sosok yang productive use of thought experiments. Memori otaknya bukan ember sampah berisi data usang tak layak guna. Sering diasah. Menjelma tajam; tak tumpul; tidak goblok.

Kita lirik sejenak prinsip penyelenggaraan pendidikan kita pada poin 5 pasal 4 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”. Baik, tiga poin utama: membaca, menulis, dan berhitung. Sangat sederhana namun sukar diakui telah tercanang ideal, bukan? 

Yang menarik, lema membaca diurut mula-mula. Tak perlu mendaras struktur sintaksis apalagi kriptologi, saya menaksir sebab membaca lebih punya bobot nilai dibanding menulis dan berhitung. Jika ditautkan ke Agama (Islam), itu sejurus dengan wahyu awal iqra’. 

Konstitusi kita menginginkan kita gemar membaca. Literasi baca tulis cerminan bangsa yang cerdas. Bahkan budaya literasi baca tulis merupakan spirit bagi melecutnya sebuah revolusi peradaban kita demi kebebasan. Menghentak kesadaran kolektif untuk berani merebut kembali apa yang disita oleh sistem kolonial: kemerdekaan, kesetaraan, dan hak asasi egaliter di mata hukum.

Banyak catatan menunjukkan, sungguh jalan literasi baca tulis ampuh membikin tegang-kendor kolonialisasi. Amsal paling moncer ialah terbitnya surat kabar pribumi kita di antaranya di Surabaya Bintang Timoer (1862), di Padang Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta atau Batavia Bianglala (1867). Paling bersinar dari ketiganya besutan Titro Adhi Soerjo yakni Medan Prijaji (1907-1912), terbit di Bandung. 

Tirto dengan sejawatnya, terutama Mas Marco Kartodikromo, sangat ulung menyuarakan silent voices jeritan hati pribumi tertindas. Menyuarakan keadilan membikin kolonial Hindia Belanda kelabakan. Walau itu berujung pada pembredelan Medan Prijaji dan pembuian keduanya. Tak mengapa, itulah perjuangan. 

Portal daring ini pun terinspirasi Bapak Pers kita, eyang Tirto, bukan? 

Menilik laman TurnBackHoak.id terkumpul 164 kabar palsu (fake news) atau hoaks sejak Juli 2015. Itu yang berhasil dijaring dan dicek validasi mis informasinya. Hoaks di belantara internet bukan belukar semata, tapi sudah menjelma rimba raya. Rimbun, gelap dan jejal-bejubal. Maka pasti data dan informasi palsu itu masih ada, menyelinap, dan siap mendedel ruang publik. 

Ghalibnya orang yang gampang percaya terhadap hoaks adalah mereka yang tuna-literasi. Gagap baca, bernalar cetek, dan instan. Ketika berkelebat satu warta di serambi medsos, mereka cuma membaca judul. Asal kontroversi dan senada dengan sentiment pribadi, lantas disebarkan. Gampangnya, mereka orang goblok belaka. Malang nian Indonesia kita.

Hal mana common sense kita bakal menampik jika seorang cerdas melek literatur mudah mengamini sebuah warta begitu saja. Orang melek literasi terbiasa tuntas membaca. Mempunyai daya penalaran yang dalam, juga kritis. Memiliki rasa waspada, keragu-raguan, dan selalu mempertanyakan kebenaran akan sesuatu. Dus, punya rasa ingin tahu yang membara. Ia sosok nan skeptis.

Moyang bangsa kita, Bung Hatta, sedikit membeber soal skeptis ini. Dalam Alam Pikiran Junani (jilid iii, 1969, hal. 16) ia menulis: “skeptis artinja ragu-ragu, sak wasangka. Djadinja tidak terus menerima adjaran-adjaran jang datang dari ahli filosofi masa jang lampau”. Bahwa skeptis berjalan pada moda pengujian kembali sesuatu yang dianggap benar oleh tatanan pengetahuan yang sudah ada. 

Bung Hatta menyitir istilah “Sekolah Skeptis”, dua institusi filsafat; Pyrron dan Skeptis Akademia (Plato). Kedua sekolah ini sebagai kontrawacana atas tradisi filsafat lama sejak tempo filsafat alam.

Dalam konteks menghadapi serbuan hoaks di dunia daring khususnya, watak skeptis sangat dibutuhkan. Sebab ini bukan sekadar tugas government atau lembaga swasta lain. Ini tugas masing-masing kita. Hal mana untuk meminimalisir persebaran hoaks dibutuhkan kesadaran massif-progressif dari kita khalayak publik. Maka, menjadi penting adanya sebuah imunitas nalar. Suatu sistim imun pada nalar yang dibangun berdasar kesadaran diri (self-consciousness) dengan, di antaranya, berwatak skeptis.

Penulis buku “Think Before You Like”, Guy P. Harrison menulis beberapa tips yang ia sebut sebagai pertahanan (defenses) saat kita mengkonsumsi informasi online. Dalam artikelnya “How to Keep Fake News Out of Your Head” dalam psychologytoday.com, ia merinci beberapa sistim pertahanan nalar agar terhindar dari warta palsu atau hoaks. 

Pertama, bersikap skeptis. Jangan pernah menerima secara serampangan satu klaim, berita, atau artikel nyaris benar. Harrison menyarankan untuk sedikit memberi jarak pada segala informasi. Sehingga ada ruang untuk kita benar-benar menilai dan melakukan semacam klarifikasi. Ini sangat penting, menurutnya, agar kita tidak terikat terlalu erat pada sebuah informasi yang bisa jadi itu adalah hoaks belaka.

Kedua, pertimbangkan sumber. Banyak media daring era sekarang bemunculan. Kerap pula ada oknum yang sengaja mengedit satu rilis warta dengan tetap mendompleng portal berita tersebut. Bagi Harrison, reputasi sebuah sumber berita sangat penting.

Pertanyaan-pertanyaan semacam “siapa awak yang ada di balik portal berita ini?”, “bagaimana rekam jejaknya?”, menurut Harrison sangat dianjurkan. Tujuannya, tentu, untuk mengecek reputasi sebuah portal berita. Dus, adakalanya kita tak perlu melahap habis satu artikel sebab sumbernya tak kredibel.

Ketiga, google bukanlah Tuhan. Memang kita hidup seakan tak bisa copot dari google. Tapi, kata Harrison, google bukanlah perpustakaan pribadi kita. Ia hanya mesin pencari yang, ibarat sebuah tong ia berisi banyak barang bahkan termasuk sampah.

Google cuma pintu masuk menuju berbagai situs. Di mana setelahnya, kita mesti lihai memilah padi di tumpukkan jerami.

Terakhir, usahakan slow, santai. Jangan terlalu tergesa mengambil natijah atas satu artikel warta. Kita perlu lebih dari satu sumber. Untuk membandingkan dan menelaah keakuratan datanya.

Watak portal berita era digital menyasar sisi kecepatan agar tak ketinggalan kereta. Tapi, kata Harrison, untuk memperoleh informasi yang presisi kita harus santai dengan membandingkannya dengan sumber-sumber lain.

Bagi saya, saran dari Harrison ciamik. Memberi semacam imunitas nalar untuk tidak terjebak jaring hoaks yang bisa menjerat siapa saja. Kebiasaan membaca dan penalaran kritis sangat diperlukan. Kecuali, kita benar-benar pandir suka nyinyir.

Mutho AW
Kolumnis asal Indramayu

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement