Rabu 31 Jul 2019 18:26 WIB

Krisis Adab Guru dan Murid

Ruh pendidikan mesti di tarik kepada akarnya, dimana peserta harus berakhlak berbudi

Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Seorang guru sedang mengajar para siswa. (ilustrasi)

Pendidikan di era globalisasi ini menjadi salah satu kunci untuk mencetak generasi yang baik. Tantangan pendidikan di era keterbukaan sistem informasi dan komunikasi menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan proses pendidikan, baik yang dilakukan oleh orang tua dan guru di sekolah.

Setiap proses pendidikan adalah untuk melahirkan sumber daya manusia yang cerdas, berakhlak dll, serta mampu bersaing di era global saat ini. Kita perlu sadari, kebangkitan sebuah peradaban sangatlah ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya.

Sistem pendidikan Nasional di Indonesia telah memberikan arah dan tujuan yang jelas, proses pendidikan untuk menjadikan manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, memiliki akhlak mulia dan beradab, berilmu, mandiri serta bertanggung jawab. (Lihat: UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Pasal 3).

Namun faktanya, pada proses pelaksanaan pendidikan terjadi begitu banyak krisis, baik terjadi kepada siswa dan guru. Kasus kekerasan, pemerkosaan, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, dan menjamurnya remaja geng motor dalam lembaga pendidikan menjadi kabar duka bagi pendidikan di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan adanya krisis moral yang terjadi, bukan hanya kepada siswa tetapi juga guru.

Berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW), pada 2015 setidaknya sebanyak 84 persen peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah, tentu data tersebut berkembang dari beberapa tahun terakhir ini.

Tidak hanya itu, 75 persen siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Fakta lain mengungkapkan, pelaku kekerasan tidak hanya dilakukan oleh murid, tetapi oknum guru atau petugas sekolah.

Data yang sama mengungkapkan 45 persen murid laki-laki di Indonesia mengaku pernah menerima tindak kekerasan dari guru maupun petugas sekolah. Adapun, 22 persen siswa perempuan menyebutkan pernah mengalami hal serupa.

Krisis moralitas terjadi dalam segala lini, belum lagi dengan data-data terbaru yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang kekerasan seksual yang menunjukkan begitu hancurnya adab dan moralitas siswa dan guru.

Berdasarkan pada pengawasan KPAI terhadap berbagai kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan sepanjang Januari-Juni 2019  dari pemberitaan di media massa tergambar  bahwa sekolah menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman bagi anak didik.

Seorang siswa SD di kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak (Kalbar) menjadi korban pencabulan gurunya  dengan modus diajari matematika. Perbuatan tidak senonoh tersebut dilakukan pelaku sebanyak 5 kali di ruang kelas dan kebun dekat sekolah.

Kepada keluarganya korban mengeluh sakit pada kemaluannya, kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Keluarga kemudian melakukan pelaporan terhadap guru ASN yang berusia 47 tahun tersebut kepada polisi.

Kasus serupa ini baru terjadi dimana ada 3 guru sekaligus melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap 3 siswi (semua berusia 14 tahun) di salah satu SMPN di Serang, Banten. 

Modus yang dilakukan para guru yang menjadi terduga pelaku adalah “memacari korban” yang notabene adalah muridnya sendiri, padahal ketiga guru tersebut sudah beristri dan memiliki anak.

Perbuatan dua guru Honorer dan  satu guru ASN  tersebut dilakukan di lingkungan sekolah, seperti di kelas, di laboratorium sekolah, bahkan di kebun belakang sekolah. Perbuatan tidak senonoh bahkan dilakukan secara bersama-sama. Perbuatan ketiga guru tersebut terungkap setelah salah satu anak korban hamil dan kepada orangtuanya korban menceritakan semuanya.

Data di atas adalah bagian dari sekian banyak data-data kerusakan moral guru dan muridnya. Cukuplah hal ini membuat hati setiap pendidik menjadi risih dan menangis atas rusaknya akhlak  para guru dan muridnya. Menurut penulis, krisis adab guru dan murid adalah tantangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement