Senin 29 Jul 2019 20:39 WIB

Belajar dari Tujuh Bocah asal Bogor

Tujuh bocah asal Bogor mengumpulkan tabungan 10 bulan untuk beli sapi kurban

Pedagang sapi menjelang idul adha di Jalan R3 katulampa, Bogor. Terdapat 46 sapi yang siap untuk jadi hewan kurban. Kamis (2/8).
Foto: Republika/Haura Hazifah
Pedagang sapi menjelang idul adha di Jalan R3 katulampa, Bogor. Terdapat 46 sapi yang siap untuk jadi hewan kurban. Kamis (2/8).

Baru-baru ini viral berita tujuh bocah asal Bogor yang patungan membeli seekor sapi untuk kurban. Masyaallah. Bocah yang belum punya penghasilan sendiri bisa membeli sapi untuk berkurban. 

Seekor sapi yang harganya diatas 10 juta, persisnya 19,5 juta. Uang ini dikumpulkan anak-anak dari menyisihkan uangnya. Sehari mereka menyisihkan Rp 5.000 selama 10 bulan. Uang dari hasil bayaran grup marawis, dari hasil berjualan, juga dari celengan pribadi. 

Baca Juga

Kagum? Ya, jelas banyak yang berdecak kagum. Orangtua tujuh anak ini pun sempat meragukan niatan anaknya untuk membeli hewan kurban. Tapi, kegigihan, kesungguhan, motivasi yang kuat, sukses mewujudkan amal sholeh anak-anak ini. Akhirnya seekor sapi pun dibeli setelah 10 bulan lamanya mereka menyisihkan uang. 

Inilah potret sukses menanamkan pemahaman kepada anak-anak. Mereka akan memegang Teguh pemahaman itu, walau harus banyak berkorban. Pemahaman tentang keutamaan berkurban telah mendorong anak-anak ini untuk mengerahkan segenap upayanya agar mereka pun bisa berkurban. Inilah kesuksesan bagi orangtua, guru dari tujuh anak ini. Penanaman amal sholeh dan motivasinya telah menghujam dalam diri. 

Masyaallah, bayangkan jika ini terjadi pada seluruh anak-anak kaum muslim. Terjadi dalam hal pelaksanaan seluruh amal sholeh, seluruh pelaksanaan hukum Allah. Maka, generasi cemerlang, gemilang yang akan hadir, dunia akhirat, insyaallah. Karena Ridho Allah membersamai. 

Tapi, lain cerita kalau yang tertanam justru pemahaman tak benar. Tentang aktifitas dosa, maksiat. Maka, mereka akan melakukan aktivitas tersebut tanpa rasa bersalah. Seperti yang banyak terjadi saat ini, perisakan, pacaran, bahkan seks bebas, LGBT. Maka hancurlah generasi. Na'udzubillah min dzalik

Pemahaman ini bisa ditanamkan oleh orangtua, khususnya ibu sebagai madrasatul ula (pendidik pertama). Ditanamkan oleh masyarakat, seperti tetangga, teman sepermainan. Dan, ditanamkan oleh negara melalui kurikulum pendidikan. 

Ya, harus semuanya bergerak. Tak cukup hanya bertumpu pada orangtua atau masyarakat saja. Perlu peran negara juga. Baik itu menanamkan pemahaman yang baik atau yang buruk. 

Tak cukup selebrasi atau peringatan hari anak nasional atau hari keluarga nasional. Perlu usaha serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan generasi cemerlang, gemilang yang diridhoi Allah. 

Wallahu'alam bish shawab

Pengirim: Fatimah Azzahra, S. Pd

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement