Ahad 28 Jul 2019 02:40 WIB

Mempersoalkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Perlu diwaspadai kepentingan gelap dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Masyarakat dan para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan menandatangani pernyataan sikap saat aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, Ahad (21/7).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Masyarakat dan para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan menandatangani pernyataan sikap saat aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, Ahad (21/7).

Saya termasuk orang yang sangat setuju apabila para pelaku kejahatan seksual (alternatif dari penggunaan istilah kekerasan seksual) dihukum sangat berat, bahkan hukuman mati sekalipun. Namun, saya tidak rela apabila kepentingan melindungi masyarakat dari kejahatan seksual ini ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan yang justru melemahkan terwujudnya manusia Indonesia yang adil dan beradab (sesuai sila ke-2 dari Pancasila).

Pertama. Jangan tertipu oleh judul, tapi lihat juga isi. RUU PKS memiliki judul yang baik sekali, jika ada orang yang kontra dengan RUU ini akan menimbulkan kesan bahwa orang itu turut mendukung kekerasan seksual.

Baca Juga

Namun, ingatlah pepatah “Jangan menilai buku dari sampulnya saja”. Sebagian judul kadang hadir sebagai kamuflase agar publik dapat lebih menerima. Strategi semacam ini biasanya digunakan agar ada pihak yang bisa dibohongi, ditipu, dan dikelabui dari maksud yang sebenarnya. Mari kita dalami juga apa saja isi yang termuat di draft RUU PKS ini!

Ada hal yang menarik terjadi di tahun 2016, tepatnya hari rabu tanggal 18 Mei, orang-orang yang mengatasnamakan Gerakan Keberagaman Seksualitas Indonesia (GKSI) melakukan peringatan Hari Melawan Homofobia dan Transfobia Internasional, dalam kegiatan tersebut mereka juga menyuarakan agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan.

Ada apa di RUU PKS itu sampai-sampai kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang diwakili GKSI itu turut mendorong pengesahan RUU PKS? Apa Anda sudah merasakan sebuah anomali?

Kedua, setidaknya ada tiga dokumen yang berkenaan dengan RUU PKS ini, yaitu: (1) Draft RUU PKS per tanggal 12 Oktober 2016 setebal 57 halaman; (2) Naskah Akademik RUU PKS per tanggal 10 Februari 2017 setebal 124 halaman; dan (3) Draft RUU PKS per tahun 2017 yang disertai Rancangan Penjelasan setebal 64 halaman. Naskah akademik adalah basis pikir dari RUU, maka ia menjadi nafas dan ruh dari draft RUU yang telah dirancang.

Dalam naskah akademik, Komnas Perempuan (hlm. 23-26) menjabarkan ada 15 (lima belas) bentuk Kekerasan Seksual. Saya akan menyoroti 2 poin saja sebagai contoh dari keberadaan celah menganga yang bisa ditumpangi kepentingan-kepentingan gelap, yaitu poin nomor 6 tentang Prostitusi Paksa dan poin nomor 15 tentang Kontrol Seksual.

Poin Prostitusi Paksa menghadirkan pesan tersirat bahwa apabila prostitusi dilakukan secara sukarela berarti tidak apa-apa, ini akan menghadirkan pembenaran bahwa prostitusi adalah legal di mana pelacur dan pelanggannya tidak dapat dihukum. Poin Kontrol Seksual memiliki akibat yang tak kalah mencengangkan, di sana secara gamblang dipaparkan: “Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama yaitu tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbol-simbol tertentu yang tidak disetujuinya”.

Contoh akibat yang bisa ditimbulkannya adalah orang tua tidak boleh turut campur soal aurat anak gadisnya, berpakaian seksi pun boleh karena dijamin undang-undang, apabila diminta menutup aurat oleh orang tuanya maka akan dikenakan pasal Kontrol Seksual. Juga berarti laki-laki yang memilih berpakaian ala perempuan tak boleh dilarang-larang, karena melarangnya termasuk kontrol seksual.

Ketiga, saya tidak menafikan bahwa RUU PKS memiliki beberapa poin yang bagus. Akan tetapi ada "kepentingan gelap” yang mesti diwaspadai. Kepentingan yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan dengan efek domino terhadap pasal-pasal yang ada dalam RUU PKS ini.

Pada pasal 1 poin 1 (hlm. 6), Kekerasan Seksual diartikan:

“Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Saya akan mencoba menyoroti frasa hasrat seksual. Di sini berarti kita tidak diperkenankan untuk melarang-larang orang yang memiliki orientasi seks menyimpang, karena toh hasrat seksual tersebut dilindungi undang-undang. Tersenyum lebar-lah para pelaku dan pendukung LGBT di negeri ini. Wajar apabila masyarakat menyuarakan bahwa RUU PKS akan menguntungkan minoritas yang memiliki orientasi seks menyimpang. Mengganggu mereka maka sama dengan telah melakukan Kekerasan Seksual! 

Definisi Kekerasan Seksual pada pasal 1 juga akan berimbas pada frasa Kekerasan Seksual yang ada pada pasal-pasal berikutnya. Seperti misalnya saya menyebutkan mi ayam, jika pada pasal 1 saya telah menyebutkan bahwa mi ayam adalah mi dengan ayam yang dibumbui dengan minyak babi, maka pasal-pasal berikutnya pun akan berlaku sama, meskipun nantinya saya hanya menuliskannya dengan frasa “mi ayam” saja.

Kemudian, penting untuk mengamati pasal 11 (hlm. 10) mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual. Ada sedikit ketidakjujuran dalam draft RUU PKS ini. Mereka hanya mencantumkan 9 dari 15 bentuk kekerasan seksual yang ada dalam naskah akademik. Apabila mereka jujur, saya yakin masyarakat akan ramai menolak dengan keras bentuk-bentuk kekerasan seksual yang “sengaja” tidak dimasukkan. Para pengusung ini sedang bermain dengan cantik agar minimal RUU ini bisa diterima terlebih dahulu oleh publik (lihat halaman 23-26 naskah akademik dan bandingkan dengan pasal 11 halaman 10 draft RUU PKS).

Kemudian pasal 12 (hlm. 10), dijelaskan bahwa, “Setiap orang yang melakukan tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang, yang terkait hasrat seksual, yang mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan, diancam pidana pelecehan seksual”. Betapa nyamannya para pelaku LGBT dengan redaksi pasal seperti itu. Ini berarti mereka dapat mengekspresikan hasrat seksualnya tanpa takut oleh gangguan dari masyarakat mayoritas yang heteroseksual. Juga mereka tak akan takut dengan jeratan hukum positif, malah para pengganggu mereka-lah yang harus bersiap dengan pidana pelecehan seksual.

Kejahatan seksual adalah sesuatu yang mesti kita perangi dan cegah bersama, tapi bukan pula dengan membiarkan para penumpang gelap menyusup membawa kepentingan-kepentingan lain yang justru membawa kejahatan lain (LGBT misalnya). Apabila RUU ini akan dilanjutkan maka perlu dilakukan perbaikan di banyak tempat dan apabila tidak dilanjutkan maka perlu dilakukan perbaikan penegakkan hukum dengan UU yang telah ada (UU KDRT dan pasal 285 KUHP misalnya) untuk mengatasi berbagai kejahatan seksual yang kerap terjadi di sekitar kita.

Jangan sampai rasa simpati kita terhadap korban kejahatan seksual dipermainkan dan dimanfaatkan oleh para pengusung dan pendukung RUU PKS ini yang membuat kita bersetuju tanpa terlebih dulu menelaah apa-apa saja pasal yang ada di dalamnya. Moga Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong kita untuk melihat yang benar itu benar, dan melihat yang salah itu salah. Wallahu a’lam bis-shawab.

Pengirim: Hakim Herlambang Afghandi, Guru Bimbingan dan Konseling SMA Darul Hikam Bandung

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement