Jumat 26 Jul 2019 17:51 WIB

Mahasiswa UB Ubah Limbah Pemindangan Jadi Pupuk Organik

Mahasiswa UB menyebut limbah cair pemindangan mencemari sungai Pasuruan

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) mengubah limbah cair pemindangan ikan  menjadi pupuk organik di Pasuruan.
Foto: Dok Pribadi
Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) mengubah limbah cair pemindangan ikan menjadi pupuk organik di Pasuruan.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kehadiran inovasi tentu memiliki kewajiban untuk membantu memecahkan problematika yang ada di masyarakat. Sprolina fertilizer maker merupakan salah satu alat inovasi mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang berusaha membantu menyelesaikan permasalahan di Sungai Pasuruan.

Tim inovasi antara lain Bagas Prasetya, Ipin Orshella N. S, Muhammad Yusuf, M. Alfiandi Rachmad H dan Akhmad D. Rivaldi. Kelima mahasiswa UB ini telah berhasil membantu memecahkan problem yang terjadi di Desa Mlaten, Nguling, Kabupaten Pasuruan. Lebih tepatnya pada limbah pemindangan ikan yang telah lama mencemari sungai Pasuruan.

Perwakilan tim, Bagas Prasetya menerangkan, bantuan inovasi Sprolina fertilizer maker sebenarnya tidak lepas dari program pengabdian masyarakat yang tengah dilakukannya. Desa Mlaten telah lama dikenal sebagai sentra pemindangan ikan di Pasuruan. Setiap hari, desa ini mampu menghasilkan 300 kilogram hingga 1 ton ikan pindang.

"Namun timbul permasalahan, limbah cair ini mau dibuat apa?" kata Bagas kepada Republika.co.id, belum lama ini. Berdasarkan hasil penelitian tim, Bagas mengungkapkan, masyarakat biasa memproduksi limbah sekitar satu hingga dua drum per proses pemindangan.

Jumlah ini jelas sangat banyak, apalagi limbah tersebut dibuang ke sungai Pasuruan. Atas tindakan ini, maka wajar jika telah terjadi pencemaran organik di tempat tersebut.

Melihat situasi tersebut, Bagas dan lima rekannya mencoba mencari solusi terbaik. Mereka berpikir bagaimana limbah dapat dimanfaatkan sehingga bernilai ekonomis. Hal ini setidaknya dapat membantu membambah pendapatan masyarakat setempat.

Dari hasil pembahasan bersama, kelima mahasiswa ini pun memutuskan untuk mengolah limbah cair menjadi produk organik. Pupuk yang diperuntukkan untuk budidaya mikroalga ini dasarnya serupa dengan yang ada di pasaran. Hanya saja, nilai produk tersebut lebih ekonomis dibandingkan umumnya.

Bagas menyontohkan pupuk walne biasanya dijual sekitar Rp 100 ribu hingga 150 ribu per liter. Sementara untuk pupuknya, bisa dihargai sebesar Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu per liter. 

Hal yang pasti, pupuknya lebih banyak mendatangkan manfaat. Antara lain mampu mereduksi pencemaran bahan organik di sungai. Lalu meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat.

Seperti diketahui, Bagas dan tim tidak hanya membantu menghasilkan produk pupuk organik. Mereka juga memberikan pelatihan membudidayakan mikroalga. Masyarakat bisa tahu cara mendayagunakan pupuk cairnya sehingga dapat menjadi solusi lain ketika produk tak laku di pasaran. 

Sementara ihwal proses pembuatan pupuk, Bagas menjelaskan, timnya memang telah mempersembahkan rancangan sprolina fertilizer maker untuk masyarakat. Alat yang memiliki dua tandon ini akan mengolah limbah cair menjadi pupuk organik mikroalga. Prosesnya, kata dia, bisa menghabiskan waktu sekitar 2 hari lima jam.

"Dan setiap satu kali siklus pengelolaan pemindangan, biasanya menghasilkan limbah cair sebesar 30 liter. Dari sini, dapat menghasilkan pupuk sekitar 19 liter," jelas Bagas.

Dengan adanya inovasi ini, Bagas mengaku, mendapatkan apresiasi dari kepala desa setempat. Pasalnya, inovasi mereka dapat membantu mengurangi pencemaran di sungai Pasuruan. Ditambah lagi, kegiatan ini berhasil memberikan penambahan kegiatan warga selain memindang ikan.

"Yakni, jadi belajar membudidayakan mikroalga," tutup dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement