Kamis 25 Jul 2019 14:47 WIB

Benarkah Setara Lebih Baik?

Saling memahami dan menjalankan fitrahNya lebih baik daripada menjadi setara

Muslimah Indonesia saat melaksanakan Shalat Ied di Jakarta (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Muslimah Indonesia saat melaksanakan Shalat Ied di Jakarta (ilustrasi).

#BalanceforBetter agaknya menjadi jargon tiap perempuan di dunia. Saat ini PBB juga senantiasa mendorong setiap perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan, membangun pikiran cerdas dan melakukan inovasi bagi terciptanya perubahan. Indonesia, melalui pemerintah juga sedang gencar menggalakkan kampanye ini. Pemerintah menilai, kesetaraan gender dapat menjadi tolok ukur tercapainya keadilan di tengah masyarakat. Namun, sebagai muslimah perlulah kita meneliti sebelum memutuskan untuk mendukung kampanye global ini. Kita harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang yang mendasari perjuangan perempuan dari tempat lahirnya perjuangan itu sendiri.

Perjuangan perempuan yang menginginkan kesetaraan ini di mulai di negara-negara Barat seperti Eropa dan Amerika yang melihat adanya ketidakadilan yang mereka peroleh. Nasib perempuan di Eropa tak luput dari kekejian doktrin-doktrin agama yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.

Sehingga mereka berpikir bahwa doktrin agama adalah sumber dari segala sumber permasalahan. Ketidakadilan yang mereka terima terus berlanjut hingga menyasar ranah publik, misalnya tempat kerja bagi buruh perempuan di Amerika Serikat. Aksi turun ke jalan akhirnya dilakukan pertama kali di Amerika Serikat oleh kaum feminis-sosialis yang memang rata-rata bekerja sebagai buruh.

Sampai hari ini, pemikiran ini terus berkembang sehingga mereka menolak segala penindasan serta ketidakadilan pada perempuan. Mereka juga menginginkan kebebasan dan hidup setara dengan laki-laki dalam ranah privat maupun publik.

Jika masalah yang terjadi itu karena latar belakang dunia Barat, lalu mengapa kita sebagai muslimah di negeri Islam masih menginginkan kesetaraan?. Kita mungkin dapat sedikit menengok sejarah bahwa Islam sejak abad ke-7 M telah menempatkan perempuan dalam posisi yang begitu mulia.

Islam datang untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan. Islam tidak mengenal patriarki dalam ajarannya. Yang membedakan adalah keimanan, bukan jenis kelamin ataupun status sosial di masyarakat.

Perempuan dan laki-laki memiliki porsi masing-masing untuk berperan dalam pembangunan peradaban. Jadi, sungguh tidak mungkin Islam menjadi sumber masalah bagi perempuan di dunia Islam.

Rasanya, tak perlu menjadi setara, hanya butuh memahami dan menjalankan peran masing-masing sesuai fitrah penciptaan. 

Pengirim: Nurintan Sri Utami, Mahasiswa Program Psikologi, Pascasarjana UMM

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement