Kamis 25 Jul 2019 10:39 WIB

Insentif Riset Kebudayaan akan Hadir Tahun Ini

Indonesia sempat menerapkan insentif keringanan pajak namun belum menarik.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Arkeolog Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memasukkan potongan kepala arca Bodhisatwa yang baru saja ditemukan ke dalam kotak kaca di Museum Bhagawanta Bari, Kediri, Jawa Timur, Rabu (17/7/2019).
Foto: Antara/Prasetia Fauzani
Arkeolog Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memasukkan potongan kepala arca Bodhisatwa yang baru saja ditemukan ke dalam kotak kaca di Museum Bhagawanta Bari, Kediri, Jawa Timur, Rabu (17/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mengatakan, pihaknya sudah mengajukan riset dan vokasi di bidang kebudayaan untuk mendapatkan insentif super deductible tax. Keinginan ini sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas insentif tersebut. 

Hilmar mengatakan, insentif untuk riset dan vokasi kebudayaan dapat masuk dalam beleid turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Dalam regulasi itu, perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan. 

Baca Juga

"Kebudayaan sangat memungkinkan untuk masuk," tuturnya ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (24/7).

Hilmar menjelaskan, keinginan tersebut muncul setelah melihat banyak dunia usaha yang ingin berkontribusi terhadap kebudayaan. Tapi, mereka masih mempertimbangkan banyak hal, termasuk insentif yang akan didapatkan. 

Hilmar menyebutkan, keinginan Kemendikbud ini sudah disambut baik oleh Kemenkeu. Kedua belah pihak memiliki kesepahaman bahwa insentif untuk riset kebudayaan memang sesuatu yang penting dilakukan. "Kita akan punya update dalam satu bulan," katanya. 

Hilmar menilai, besar kemungkinan insentif riset kebudayaan akan dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Sebab, beberapa negara sudah banyak yang melakukannya seperti Singapura. Indonesia pun sebenarnya sempat menerapkan insentif serupa berupa keringanan pajak namun hanya 25 persen dan belum mampu menarik bagi industri yang ingin terlibat. 

Terkait jumlah, Hilmar menyebutkan, sebenarnya bersifat relatif. Pengusaha bisa mendapatkan benefit non moneter, yaitu menambah kekuatan branding perusahaan tersebut apabila mengadakan riset maupun kegiatan seni dan budaya. 

"Dampak ini cukup menarik buat yang memang menaruh perhatian," katanya. 

Hilmar menyebutkan, insentif ini akan menyasar ke seluruh sektor dunia usaha. Tapi, Kemendikbud sudah dapat memperkirakan kalangan yang akan langsung tertarik, yakni produk ritel seperti industri makanan, garmen dan sebagainya. Sebab, mereka sudah lebih melihat keterkaitan antara brand dengan kegiatan seni dan budaya yang akan dilakukan.

Melalui insentif ini, Kemendikbud berharap akan muncul riset kebudayaan yang menghasilkan angka konkrit. Hilmar memberikan contoh, berapa besaran biaya yang dibutuhkan untuk membuat fasilitas kesenian sehingga indeks pembangunan kebudayaan daerah bisa naik. 

"Ini dapat jadi alat ukur konkrit, sehingga dapat menghubungkan kontribusi yang sudah diberikan dengan indeks ini," tuturnya. 

Dengan alat ukur ini, Hilmar menyebutkan, besar kemungkinan investasi untuk kebudayaan dapat terus meningkat. Sebab, selama ini, dunia usaha belum mendapat ketidakpastian atau gambaran yang jelas terhadap dampak dari kontribusi mereka saat mengadakan kegiatan seni. 

Hilmar berharap, insentif riset kebudayaan ini dapat rilis pada tahun ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai turunan dari PP  No 45/2019. Menurutnya, tidak dibutuhkan Peraturan Dirjen mengingat sifat PMK yang sudah teknis. "Kalau sudah tertulis 'kebudayaan' di situ, berarti otomatis mengarah ke kami," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement