Rabu 24 Jul 2019 07:03 WIB

Tabrani Perjuangkan Bahasa Indonesia Sebagai Pemersatu

Tabrani gigih memperjuangkan menerbitkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

Sumpah Pemuda pertama
Foto:
Haji Agus Salim

Tabrani dan Gerakan Kebangsaan

Tentang keindonesiaan, Tabrani berani berdiri berlawanan dengan tokoh-tokoh yang muncul dengan basis kedaerahan dan kepriyayian. Mendirikan Partai Rakjat Indonesia (PRI) dengan memunculkan isu perlunya berdiri dalam kerakyatan-kebangsaan Indonesia, ia mengkritik praktik-praktik organisasi pergerakan kemerdekaan yang berbasis kedaerahan, keagamaan, dan kepriyayian itu yang masih lemah dalam kerja sama.

Maka, ia mendapat banyak sorotan, termasuk dari para mahasiswa. Di pertemuan yang diadakan di Gedung Permufakatan, Gang Kenari, ia menunjukkan kejengkelannya terhadap para mahasiswa dari PPPI.

"Jika kalian para mahasiswa dapat membuat negara kita merdeka dalam waktu lima tahun, tanpa ragu, aku ingin menjadi prajuritmu!" kata Tabrani seperti dikutip Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 31 Maret 1931.

Di gedung itu, Partai Rakjat Indonesia (PRI) mengadakan pertemuan. PRI merupakan partai yang didirikan M Tabrani setelah tokoh-tokoh PNI ditangkap Belanda pada akhir 1929 dan kemudian diadili pada Agustus 1930. PRI ia dirikan untuk mencapai tujuan kemerdekaan melalui jalan kooperasi seperti yang selama itu dituju PNI lewat jalan nonkooperasi.

Tabrani menyebutnya sebagai memperjuangkan ‘’dominion status’’ (kedudukan kekuasaan). "Kami memiliki hak untuk mengambil tindakan seperti itu karena anggaran negara (landskosten) berasal dari uang penduduk negara ini,’’ ujar Tabrani.

Di pertemuan itu, para mahasiswa diberi kesempatan menjelaskan petisi mereka dan pimpinan PRI berkesempatan menjelaskan sikap partai. Para mahasiswa itu keberatan dengan jalan kooperatif PRI untuk mencapai kemerdekaan.

Lewat perjuangan "dominion status" melalui parlemen, kata Tabrani, dalam jangka panjang PRI mengarah pada tujuan "likuidasi pemerintah" (liquidatie van de regeering). Namun, jalan ini mensyaratkan adanya pendidikan yang layak di semua lini, sehingga perlu ada peningkatan jumlah sekolah. Tabrani pun menegaskan, di Landraad van Bandung, Soekarno juga menegaskan PNI menempuh jalan perjuangan mencapai "dominion status".

Seperti yang diucapkan Soekarno dalam pembelaannya berjudul "Indonesia Menggugat" di Landraad (Yayasan Pendidikan Soekarno, 1998), "Maka, PNI dengan jalan pembentukan kekuasaan pula, ingin menjadi kekuasaan yang ditakuti, yang akhirnya menuntut rakyat Indonesia ke atas kekuasaan politik juga, kekuasaan politik kemerdekaan yang menurut penglihatan kami adalah syarat yang terpenting untuk memberhentikan imperalisme sama sekali."

Di pertemuan PRI itu, Tabrani juga mengkritik tiadanya kerja sama di antara organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan yang mengambil jalur kooperasi. Sebelum ada PRI, organisasi semacam Budi Utomo, Pasundan, Syarikat Islam (yang kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam (PSI) dan dikemudian hari berubah lagi menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan lain-lainnya, dinilai Tabrani juga sebagai organisasi pergerakan kemerdekaan yang mengambil jalan kooperasi.

Tindakan represif Belanda membuat tokoh-tokoh nonkooperatif menahan diri untuk muncul. Yang kemudian menonjol adalah mereka yang kooperatif. Pada November 1936, misalnya, ketika PSII sudah memilih jalur nonkooperatif, Agus Salim membentuk Barisan Penyadar PSII yang bergerak secara kooperatif. Barisan Penyadar kemudian dikeluarkan dari PSII.

Pada September 1936, Petisi Sutardjo disetujui Volksraad. Menurut catatan MC Ricklefs di buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, 2005), sebagian besar anggota Volksraad yang bukan pribumi menginginkan otonomi yang lebih luas dari Denhaag. Sutardjo merupakan tokoh kooperatif yang menjadi anggota Volksraad sebagai wakil dari pribumi yang menjadi pegawai pemerintah. Namun, di kemudian hari, petisi ini ditolak oleh Kerajaan.

Ketika Syarikat Islam memilih jalan kooperatif dengan menempatkan wakilnya di awal berdirinya Volksraad, selama di Volksraad justru bertindak nonkooperatif. Tjokroaminoto dan Abdul Muis selalu memberi reaksi-reaksi yang tegas terhadap pelaksanaan pemerintahan. "Karena sikap-sikap yang demikian itu, maka Tjokroaminoto dan Abdul Muis telah menjadi oposisi,’’ tulis Anhar Gonggong di buku HOS Tjokroaminoto (Departemen P dan K, 1985).

Menurut Tabrani, mereka yang kooperatif memiliki front politik yang kuat, maka akan memunculkan tindakan nonkooperatif yang lebih ganas. Tindakan nonkooperatif bagi Tabrani merupakan konsekuensi dari tindakan kerja sama bagi para pendukung jalan kooperatif.

Organisasi-organisasi itu pada Desember 1927 telah bergabung dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Selain Budi Utomo dan Pasundan, ada di dalamnya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam (PSI) yang pada 1929 menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Sarekat Sumatra, Pemuda Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia (KSI). Namun, Tabrani mengkritik mereka belum ada kerja sama.

PNI, PSII, Budi Utomo, dikenal menjalankan cara nonkooperasi, bergabung di PPPKI bersama yang lainnya yang menganut jalan kooperasi. PRI yang memilih berdiri dengan jalan kooperasi dimaksudkan untuk perjuangan kemerdekaan jangka panjang dengan bekerja dari dalam. Yaitu terlibat dalam lembaga perwakilan: Gemeenteraad, Provincialraad, Volksraad, karenanya, perlu ada pendidikan yang baik bagi kaum pribumi. Tabrani selain wartawan juga dikenal sebagai kepala Sekolah Kita di Pamekasan dan direktur Neutrale Mulo, juga di Pamekasan.

Karena urusan kemerdekaan adalah urusan jangka panjang, maka PRI berjuang lewat politik dan ekonomi secara serentak. Terlebih depresi ekonomi dunia juga berdampak di Hindia Belanda sejak 1929. Pada 1930, angka ekspor minyak bumi dan produk pertanian Hindia Belanda ke Eropa dan Amerika Utara mencapai 52 persen dari tolal produksi.

Eropa dan Amerika Utara pun kemudian menutup diri dari impor sehingga berimbas kepada Hindia Belanda. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Karena itu, PRI memikirkan perjuangan ekonomi. "Dari perjalanan sejarah dunia, orang dapat menarik bukti bahwa kebebasan politik dapat diperoleh lebih dulu daripada kebebasan ekonomi," ujar Tabrani.

Tabrani menegaskan PRI bukanlah partai nasionalis yang hanya bicara. Tabrani menginginkan PRI juga partai kerja. Maka, anggota PRI didorong memakai baju yang dijahit oleh penjahit pribumi, mencuci baju di penatu pribumi. Hal itu dilakukan untuk mendukung bisnis pribumi. "Mendukung orang-orang kita," kata Tabrani.

Menurut Tabrani, dominasi orang-orang Indo-Eropa yang memiliki pengaruh kuat di pemerintah perlu dibatasi. Itulah sebabnya PRI perlu memikirkan cara agar juga memiliki pengaruh kuat di pemerintah dengan cara menempatkan banyak wakil di lembaga perwakilan. Organisasi pergerakan kemerdekaan perlu bekerja sama untuk perjuangan di parlemen ini.

Dalam pertemuan PRI yang diadakan di Gedung Permufakatan pada 30 November 1930, Tabrani mengusulkan agar PPPKI membuat federasi berdasar tiga kelompok: kelompok kooperasi, kelompok nonkooperasi, dan kelompok religi.

Tabrani juga mengusulkan agar perhimpunan seperti Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, dan lainnya yang bersifat provinsial dihilangkan saja. "Harus digantikan oleh perhimpunan Indonesia, yang tidak mengenal orang Jawa, tidak ada orang Sunda, dan lain-lain, tetapi hanya orang Indonesia,’’ ujar Tabrani seperti dilaporkan De Indische Courant, 17 Desember 1930.

Dalam pertemuan itu, PRI memang mengundang organisasi-organisasi anggota PPPKI, tetapi yang hadir hanya PNI yang diwakili oleh Mr Sartono. Sartono menyambut baik kemunculan PRI, meski Budi Utomo menganggap kemunculan PRI tak diperlukan lagi. Menurut Sartono, kehadiran PRI bisa membuat masyarakat membuat perbandingan dengan partai/ organisasi yang sudah ada.

"Saya berbicara di sini bukan atas nama PPPKI, tetapi di mana federasi asosiasi telah dibawa ke permukaan, saya pikir akan lebih baik untuk memberi tahu Pak Tabrani apa yang harus dia ketahui," ujar Sartono, yang juga jengkel terhadap Tabrani, karena nasihatnya agar PRI bisa menghargai prinsip dan sudut pandang partai/organisasi lain tak digubris Tabrani.

Terlepas dari kritik kepada PRI, toh di kemudian hari, organisasi-organiasi itu meleburkan diri dalam Partai Indonesia Raya (Parindra). De Sumatra Post edisi 16 April 1931 membuat laporan hasil wawancara dengan H Agus Salim, tokoh senior PSII, soal rencana penggabungan organisasi-organisasi itu. H Agus Salim menyatakan proses merger sedang berlangsung.

Dalam wawancara itu, H Agus Salim sempat mengatakan bahwa sebenarnya merger tidak diperlukan lagi. Alasannya, Budi Utomo dan Pasundan misalnya, sudah membuka diri menerima semua kelompok warga pribumi.

Ketika penggabungan organisasi-organisasi itu teralisasi akhir 1935 dengan nama baru Partai Indonesia Raya (Parindra), PRI tidak terlibat di dalamnya. PRI baru bergabung pada pertengahan 1937. Bataviaasch Nieuwsblad edisi 13 April 1937 menyebutkan PRI yang saat itu dipimpin RM Soeripto memutuskan bergabung ke Parindra, didului PRI Jawa Timur.

"Namun keputusannya akan dilaksanakan hingga Parindra mengadakan kongres di Batavia bulan depan," tulis Bataviaasch Nieuwsblad.

Baca Juga: Tabrani dan Intel Kongres Pemuda Pertama

Soerabaijasch Handelsblad edisi 2 Juni 1937 menyebut keputusan pengurus pusat PRI bergabung ke Parindra itu berlaku sejak 28 Mei 1937. Mereka yang keberatan PRI bergabung ke Parindra, tidak memiliki hak melanjutkan PRI.

"Setelah pengumuman keputusan Kongres Parindra diadakan di Batavia, sudah jelas bahwa PRI tidak ada lagi," tulis koran yang terbit di Surabaya itu.

Setelah PRI bergabung, Kongres Parindra di Semarang pada 1937 menggaungkan perjuangan penggunaan bahasa Indonesia. Parindra membahas perjuangan penggunaan bahasa Indonesia di dewan-dewan lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement