Selasa 23 Jul 2019 15:01 WIB

Masa Awal Bahasa Indonesia; Tanda Pengenal Keindonesiaan

Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu

Sumpah Pemuda pertama
Foto:

Setelah Kongres Bahasa

 

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiee edisi 12 Juli 1938 menurunkan kutipan tulisan pendek bernada nyinyir. Di bawah judul Theorie en Practijk (Teori dan Praktik), koran ini mengutip majalah Daja Oepaja yang terbit di Semarang.

 

Majalah itu mempertanyakan tindakan para pendukung bahasa Indonesia yang menegaskan komitmennya mempertahankan bahasa Indonesia ketika berbicara di Kongres Bahasa Indonesia Pertama. Namun, begitu pulang dari Kongres mereka kembali berbicara dalam bahasa Belanda. "Kapan kebiasaan ‘baik’ ini hilang sama sekali dan untuk selamanya," tulis Daja Oepaja.

 

Kalimat detailnya dikutip Soerabaijasch Handelsblad edisi 15 Juli 1938. "Setelah kongres, dalam perjalanan ke hotel, dari hotel ke stasiun, di kereta, tidak ada bahasa Melayu yang digunakan."

 

Di edisi 21 Juli 1938, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiee memunculkan tulisan dari majalah Darmo Kondo yang terbit di Solo. Darmo Kondo mempertanyakan sikap Parada Harahap yang terkesan menentang persatuan Indonesia melalui bahasa persatuan bahasa bahasa Indonesia.

 

"Ketika Pak Parada Harahap berbicara tentang warga negara kita, dia selalu menggunakan kata ‘Indonesia’, tetapi sehubungan dengan bahasa dia terus menempel pada ‘bahasa Melayu’," tulis Darmo Kondo. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie kemudian mengutip jawaban dari Tjaja Timoer, bahwa bahasa Indonesia adalah ‘bahasa yang sedang dibuat’."

 

Kendati beberapa media nyinyir terhadap kongres bahasa, media lainnya justru memuji keberhasilan kongres. "Bagi kami, gejolak rasa persatuan saja berarti keberhasilan Kongres Bahasa," tulis koran Tempo seperti dikutip Soerabaijasch Handelsblad edisi 12 Juli 1938.

 

Tempo yang terbit di Surabaya itu menilai Kongres Bahasa ada karena tak semata untuk bahasa, melainkan untuk menggelorakan perasaan nasionalistik Indonesia (Indonesisch nationalistisch gevoel) dan membuatnya menyala. "Membesarkan antusiasme sama sekali tidak aneh! Karena tujuan kongres adalah perancangan tetap untuk bahasa persatuan (vaste vormgeving aan de eenheidstaal),’’ tulis Tempo.

 

Terhadap laporan majalah Mataram, Soerabaijasch handelsblad memberi catatan: Mendapatkan lingua franca tentu saja akan dengan mudah membangkitkan rasa kebersamaan dan mengejar terwujudnya persatuan rakyat. Mataram menilai Kongres Bahasa sangat berbahaya.

 

Pandangan Mataram ini menunjukkan gejala seperti yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana pada 1932. "Bangsa Belanda sangat takut terdesak," ujar Sutan Takdir.  "Orang Belanda sangat takut akan menjadi sama derajatnya dengan bangsa inlander," lanjut Sutan Takdir seperti ia tulis di Soeara Oemoem edisi 7 Maret 1932 dengan judul "Bahasa Indonesia Bahasa Persatuan".

 

Karenanya, Mataram dianggap meleset dari sasaran jika menilai Kongres Bahasa hanya dimaksudkan untuk memperindah dan melengkapi bahasa Melayu. "Kongres itu penuh semangat bukan karena penolakan terhadap kata-kata Melayu yang baru, bukan karena penyempurnaan bahasa Melayu, tetapi karena suasana perundingan yang sarat dengan kesadaran bahwa ras-ras pribumi telah sampai di pengakuan bahwa mereka memiliki bahasa pergaulan, bahasa persatuan, Indonesia! Sepenuhnya sejalan dengan sumpah nasional," tulis Soerabaijasch Handelsblad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement