Jumat 19 Jul 2019 06:23 WIB

Diskusi Mata Hijau (Cerita Pendek)

Ia melihat mata sayu yang memendam rindu, melihat kesepian, kesendirian, terasingkan

Diskusi Mata Hijau
Foto:

Seorang bayi laki-laki terlahir di sebuah desa. Semua orang menyambut gembira, segera kesibukan terjadi seperti halnya tradisi Jawa dengan syukuran dan selamatan. Anak itu menjadi pusat perhatian dan curahan kasih sayang keluarga sederhana itu.

Anak itu tumbuh dengan baik. Berkembang sesuai zamannya, berjalan pada alurnya hingga sebuah tragedi mengubah langkah hidupnya. Keluarganya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hanya ia sendiri yang hidup, sebatang kara. Harta keluarganya diperebutkan saudara-saudara orang tuanya.

Mulailah, ia merantau, berkelana dari satu wilayah ke wilayah lain. Ia tumbuh di jalanan. Lupa di mana pernah dibesarkan.

Ia tak lagi percaya siapa saja. Ia hanya melangkah, mengikuti kata hati, mencari diri, sampai akhirnya tak ia temukan apa-apa di sepanjang semesta.

Kabut biru mengitari dua makhluk yang berdiri berhadapan. Di sebuah ketinggian, pada bagian yang tak terjangkau pikiran sebab nun jauh di bawah sana, bumi sedang berputar di rotasinya.

“Sudah tenangkah sekarang?” Sang pemilik mata hijau menakar kesiapannya.

“Ya.”

“Kita berangkat.”

Udara mengantar mereka ke sebuah tempat tak bernama.

***

Calon istrinya bersimbah air mata, pingsan berkali-kali setelah mayatnya dimasukkan keranda. Lantunan ayat suci mengiringi jasadnya disemayamkan. Tangisan tak membuatnya bangun dari tidur panjang. Namanya diukir di papan nisan. Kembar mayang disandingkan sebagai kearifan lokal, lelaki itu meninggal seminggu sebelum hari pernikahan.

Kecelakaan tunggal truk yang dikemudikannya menabrak pembatas jalan, ia ditemukan luka parah pada bagian kepala. Malam itu, dedaunan surga yang bertulis nama dan perjalanan atmanya lepas dari tangkai pohon syajarah.

Di warung kopi, namanya diperbincangkan banyak orang. Ada yang menyesal pernah menyakiti perasaannya, ada yang membicarakan kemampuannya melihat masa depan dan membaui aroma kematian, ada yang menyayangkan kepulangannya sebelum ia melangsungkan akad nikah dengan santriwati paling cantik dari pesantren ternama.

Ada yang hanya mengelus dada, tulus berduka cita.  Sarti membuka lembar-lembar tentangnya tiap kali ada kesempatan, diiringi sengguk tangisan. Entah kenapa, bagi Sarti, pertemuan terakhirnya dengan Ilham malam itu meninggalkan kesan mendalam. Esoknya, ia keluar dari warung kopi dan memilih profesi sebagai juru masak di panti jompo.

Di panti itu, ia melihat siklus paling senja dari batang usia. Ia melihat mata sayu yang memendam rindu, melihat kesepian, kesendirian, terasingkan, dan berbagai cara untuk menemui satu titik, bahagia. Orang-orang yang berpayah mengejar impian terakhir mereka, khusnul khatimah. Menambal segala kekosongan masa muda, mengeja alif baa taa dengan kepandaian yang tersisa.

Panti itu, menjadi tempatnya berpijak untuk berbenah. Menyongsong ujung perjuangan.

Ia merasa ada Ilham di setiap napasnya, ilham tentang ikhtiar dan pengabdian pada Tuhan meniti garis perjalanan hidup sebelum tiba di perbatasan hayyu wa mumit.

 

 22 Mei 2019, Kwai Fong, New Territories, Hong Kong

TENTANG PENULIS: WIJI LESTARI, Penulis adalah pemenang VOI Sastra Award (RRI) 2018

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement