Senin 15 Jul 2019 17:15 WIB

Belajar Adil Sejak dalam Pikiran

Belajar adil dinilai penting agar tidak ada lagi standar ganda dalam pikiran

Wanita Muslim di sejumlah negara masih kerap menjadi korban penindasan dan ketidakadilan(Ilustrasi)
Foto: independent.co.uk
Wanita Muslim di sejumlah negara masih kerap menjadi korban penindasan dan ketidakadilan(Ilustrasi)

Barangkali di telinga kita sudah terdengar familiar ungkapan tuntulah ilmu dari buaian hingga liang lahat. Bukan hanya itu, dewasa ini kita juga mengenal sebuah istilah yaitu longlife education.

Atau mungkin di sekitar kita ada kawan yang mendeklarasikan bahwa “pembelajar sepanjang hayat” adalah motto hidupnya. Apapun itu pastinya belajar dan menuntut ilmu sangat penting.

Tapi ilmu yang dibutuhkan untuk mengarungi samudera kehidupan nyatanya bukan sekadar sin cos tan dalam matematika atau rumus relativitas ala Enstein dalam fisika. Ada yang lebih rumit dari pada itu. Belajarnya tidak cukup hanya di dalam ruang kelas sekolah maupun les-lesan. Itulah karakter. Belajar teorinya boleh saja di sekolah tapi praktiknya sudah tentu langsung terjun di dalam universitas kehidupan.

Salah satu karakter yang utama dan mulia adalah adil. Sikap adil menuntun manusia menjadi bijaksana dalam memutuskan suatu perkara. Apalagi bagi seorang hakim peradilan, tentu saja itu sangat dibutuhkan.

Sayangnya jual beli hukum hampir jadi rahasia umum. Nyatanya penegak keadilan yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan pun masih terciduk di kasus suap maupun koruosi. Kalau hakim dengan jabatan tinggi saja dapat melakukan hal keji itu, bagaimana dengan di bawahnya?

Sayangnya masalah kronis tersebut bukan hanya di bidang itu. Bahkan dalam pemikiranpun kadangkala tanpa sadar membuat orang tidak adil dalam persepsi. Betul sekali suara hati siapa yang tau, bayangan akal siapa pula yang dapat menerka.

Tapi buah pikiran alias pemikiran tentu saja tetap bisa kita indra. Bentuknya memang abstrak namun dapat kita pahami dan dimenerti juga oleh orang lain.

Itulah pikiran. Dewasa ini beragam paham beredar di tengah masyarakat. Sebut saja kapitallisme, sosialisme, materialisme, feminisme, dan masih banyak lagi. Semua paham itu berkeliaran berebut opini dan hati masyarakat agar diadopsi oleh individu. Disebarkan dengan model propaganda beraneka macam. Digencarkan atas nama kebebasan.

Tak hanya itu, nyatanya bukan hanya paham yang beredar. Bicara propaganda, saalah satu yang paling terkenal ialah War on Terrorism dan Being LGBT in Asia.

Beragam paham, pemikiran, dan opini beredar di tengah masyarakat. Bila kita refleksi kembali apakah semuanya baik untuk kita? Tentu saja kita harus selektif. Di sisi lain, ada stigma negatif yang dilekatkan pada orang yang berusaha taat.

Orang berhijab yang ingin taat diidentikkan dengan keterkungkungan, saat ada yang ingin buka aurat dibilang kebebasan. Mencoba berpegang teguh pada syariat Islam lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan dianggap memaksakkan kehendak sedangkan hidup sebebas-bebasnya ala barat dielu-elukan

Bila menghendaki kebebasan untuk diri mengapa muncul stigma bagi orang-orang hang ingin taat pada keyakinannya? Mengelu-elukan kebebasan berpendapat tanpa sadar menjerumuskan kita pada hipokrasi.

Bagaimana bisa? Dewasa ini kita melihat fakta di manna setiap orang bersuara atas nama kebebasan. Contohnya saat seorang muslimah berhijab dinilai terpenjara padahal itu adalah keinginan mereka sendiri dan mereka tidak keberatan dengan itu. Begitupula orang yang menyebarkan ajaran Islam berupa syariat juga dianggap memaksakan kehendak padahal dengan cara yang baik dan tanpa kekerasan.

Ternyata manusia punya tolok ukur berbeda. Bila seperti itu apa mungkin harmoni akan tercipta di temgah milyaran manusia yang tengah hidup di bumi ini? Oleh karena sudah menjadi fitrah bila manusia taat kepada Sang Pencipta yang juga Dzat yang paling mengetahui seluk-beluk ciptaan-Nya.

Hingga standar kebenaran tidak relatif sebabb standar ganda amat bahaya. Dan disitulah letak ketidak adilan sejak dalam pikiran. Taat pasti akan membuahkan kebahagiaan sementara memperturutkan nafsu hanya menjerumuskan pada kesengsaraan.

Saatnya kembali kepada aturan Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Menyandarkan standar kebenaran pada-Nya yang tertuang dalam panduan hidup dan tuntunan hidup manusia yakni Quran dan Sunnah. Agar standar ganda tidak muncul dan kita dapat konsisten dengan kebenaran itu. Mari belajar adil sejak dalam pikiran.

Wallahu a’lamu bish showab.

Pengirim: Aisyah Salsabila, Mahasiswi Universitas Negeri Malang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement