Senin 15 Jul 2019 05:13 WIB

Kisah Belanda Depok; Sinyo & Noni Budak Cornelis Chastelein

Belanda Depok adalah pribumi yang pernah menjadi budak Cornelis Chastelein

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Salah satu foto Sinyo dan Noni marga Jonathans.
Foto:
tugu Cornelis Chastelein, Depok

Sejarawan dari Depok Heritage Community, Ratu Farah Diba mengungkapkan kontur tanah di wilayah Srengseng yang berbukit-bukit, membuat Cornelis harus membeli tanah lagi di kawasan agak ke selatan, yaitu Depok. Cornelis Chastelein pun membeli tanah luas di Depok dari seorang Tionghoa bernama Tio Tong Ko pada 1712 dan sebagian lagi dari seorang Belanda, van den Barlisen pada 1713.

Di tanah seluas kurang lebih 1.244 hektar di wilayah Depok inilah, Cornelis Chastelein mulai merintis usaha pertanian miliknya. Awalnya ia membeli sekitar 150 orang budak belian di pasar budak di Batavia. Para budak pribumi ini berasal dari beberapa wilayah di timur Indonesia, seperti Bali, Sulawesi Selatan, Minahasa, Ambon, Flores dan sebagian Bengali-India. Dari budak inilah mereka kemudian menjadi Kaoem Depok atau orang yang pertama kali mendiami wilayah Depok.

Cornelis Chastelein bukan hanya mempekerjakan para budak miliknya, namun ia juga mensejahterakannya. Cornelis Chastelein bahkan berusaha mendirikan komunitas masyarakat sendiri di tanah yang ia miliki dengan memerdekakan budak sebagai rakyatnya.

Tidak hanya itu, Cornelis Chalestein membuat sebuah surat wasiat pembagian tanah yang diperuntukkan bagi para budak, yang kelak ia merdekakan. Ia mempersilakan para budaknya untuk mengelola tanah mereka sendiri.

Upaya Cornelis ini terbentur peraturan pemerintahan Hindia-Belanda, yang menyebutkan kaum budak yang telah dimerdekakan harus memakai nama marga atau keluarga, (Ronald M. Jonathans, ‘Depok’, 2012: 11). Sedangkan dari 12 kelompok keluarga hamba sahaya yang dimiliki Cornelis, saat itu hanya 7 kelompok memiliki marga.

Dari situlah Cornelis membuat inisiatif memberi nama 5 kelompok keluarga budak, yang ia ambil dari Alkitab. Dan muncullah 12 kelompok marga (familie nammen) yang kemudian dikenal Kaoem Depok, di antaranya Isakh, Jacob, Joseph, Jonathans, Samuel, dengan tujuh nama marga yang telah ada yakni Bacas, Leander, Laurens, Loen, Soedira, Tholense dan Zadokh.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Chico Jinny Tangke Allo– Tholense mengungkapkan pada 13 Maret 1714 surat wasiat tersebut diberikan ke para budak, dan pada tanggal itulah mereka mendapatkan pembagian 1.244 hektar tanah. Cornelis Chastelein kemudian meninggal tiga bulan setelah mewariskan tanah miliknya kepada mantan budaknya, yang kini dikenal dengan Kaoem Depok, tepatnya pada 28 Juni 1714.

Pada 28 Juni itu juga diperingati Kaoem Depok sebagai peringatan hari jadi mereka. “Peringatan pada 28 Juni 2019 lalu bertepatan pada 305 tahun Kaoem Depok,” ujar Chico Jinny Tangke Allo– Tholense kepada wartawan, saat memperingati HUT Kaoem Depok, Sabtu (13/7).

Setelah pemerintah Hindia Belanda mengambil alih semua wilayah dan harta jajahan dari VOC pada 1798, Kaoem Depok mulai mendapatkan pengakuan pengelolaan tanah sendiri. Kaoem Depok dari 12 marga menjadi tuan tanah partikelir dan digelarkan Sinyo dan Noni Depok, -gelar untuk keturunan Belanda- walaupun mereka bukan keturunan langsung dari Cornelis Chalestein atau orang Belanda.

Ketua Umum Depok Herittage Community, Ratu Farah Diba mengatakan warga dari luar Kaoem Depok memanggil mereka dengan sebutan ejekan ‘Belanda Depok’. Hal ini dikarenakan gaya hidup mereka yang lebih sejahtera dari rakyat lain karena memiliki tanah yang luas, mereka berpakaian seperti orang belanda, berbicara berbahasa Belanda dan beragama Kristen Protestan.

“Mereka juga dipanggil Sinyo dan Noni karena terlahir ketika Cornelis Chastelin merdekakan mereka. Mendapat surat wasiat dan diberi tanah yang luas di Depok. Makanya mereka merasa terlahir,” kata Farah Diba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement