Jumat 22 Mar 2019 16:50 WIB

Kenali Sosok si "Pembunuh Berdarah Dingin"

Digital berperan besar dalam mendorong perubahan drastis dari generasi X ke milenial

Rep: Hiru Muhammad/ Red: Agus Yulianto
 Tampak suasana diskusi buku 'Millenials Kill Everyting' karya Yuswohadi, Kamis (21/3).
Foto: Foto: Istimewa
Tampak suasana diskusi buku 'Millenials Kill Everyting' karya Yuswohadi, Kamis (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata milenial atau generasi milenial menjadi salah satu kata yang banyak dibicarakan orang. Baik secara langsung maupun di dunia maya. Apalagi. bila kata itu dikaitkan dengan istilah digital yang begitu fenomenal dalam beberapa tahun belakangan ini, menjadikan keduanya bagaikan duet maut yang tidak terpisahkan. 

Betapa tidak, kehadiran generasi milenial yang dibarengi dengan tren digital yang melanda dunia  setidaknya dalam 10 tahun terakhir telah merubah wajah kehidupan manusia di berbagai bidang. Baik sosial, budaya, ekonomi, politik. Banyak profesi maupun bisnis lama berguguran karena terjadi perubahan pola kehidupan khususnya di kalangan milenial tersebut. Perubahan itu telah menimbulkan pergeseran tren kehidupan khususnya masyarakat di perkotaan. 

Masalah kebiasaan masyarakat milenial yang berbeda dibanding dengan generasi pendahulunya, baby boomers atau generasi X ini dikupas Yuswohadi, pengamat masalah pemasaran dan merek dalam buku terbarunya, Millennials Kill Everything. "Kondisi ini mengerikan," kata Yuswohadi, Kamis (21/3).

Semula orang mengira hanya digital disruption atau gangguan digital. Namun dalam perjalanannya kondisi ini mampu membuat banyak perusahaan gulung tikar hingga membuat pengangguran. 

Kaum milenial telah merubah keadaan dari yang lama menjadi baru secara lebih progresif. Mereka melakukan perubahan begitu cepat sehingga banyak perusahaan yang dikelola generasi baby boomers maupun generasi X yang belum siap menerima perubahan itu menjadi terganggu bahkan tutup.

"Generasi X atau baby boomers kurang bisa memahami generasi milenial, begitu juga sebaliknya," kata Yuswohadi.

Proses transisi dari generasi baby boomers kepada generasi X berjalan mulus karena tidak terjadi perubahan yang drastis. Namun, lain halnya transisi yang terjadi dari generasi X ke milenial yang begitu tajam. Hal itu tidak terlepas dari kehadiran era digital yang kini melekat kuat dalam kehidupan kaum milenial.

Hal itu pun, kata dia, terbukti dengan menjamurnya bisnis start up yang berbasis teknologi digital.   "Mereka begitu familiar dengan digital karena semua bisa diselesikan melalui ponsel," katanya. 

Namun, generasi milenial dinilai tidak memiliki ketangguhan mental seperti generasi pendahulunya. Sikap mereka yang gemar bepergian dan kurang menyukai budaya menabung membuatnya rentan dalam menghadapi masalah hidup. Hal itu masih ditambah dengan kurangnya kemampuan soft skill seperti sikap ulet, jujur, mandiri, mampu bergaul dengan berbagai kalangan yang dibutuhkan saat ini untuk menghadapi tantangan hidup yang kian berat. 

Dalam bukunya setebal 315 halaman itu juga mengupas 50 kebiasan atau bisnis saat ini yang akan redup dalam beberapa tahun ke depan. Diantaranya adalah pakain kerja, jam tangan, album foto, kamera, call center, tempat kerja, waktu kerja 9-5, menikah, departmen store, media cetak, celebrity endorser, film porno, sedotan dan sebagainya. Temuan itu merupakan hasil riset yang dilakukannya bersama tim dalam beberapa waktu terakhir. Di bagian akhir buku tersebut juga dicantumkan sejumlah informasi penting sebagai sumber referensi buku tersebut. 

Generasi milenial umumnya tidak menyukai segala suatu yang berbau kebiasaan orang tua atau generasi sebelumnya yang terkesan klasik dan ketinggalan jaman. Seperti menikah, bagi kebanyakan orang menikah merupakan hal yang sakral sehingga harus dipersiapkan dengan matang. Namun, bagi kaum milenial menikah bisa dilakukan dimana saja dengan cara yang santai. "Mereka bisa menikah dengan memakai Sneakers," katanya.

Mereka tidak mengenal formalitas dalam bekerja yang dilakukan dengan santai. Hal itu terlihat dari pakaian yang mereka gunakan dalam bekerja dan bersantai serta tempat mereka bekerja. Mereka lebih menyukai bertemu di kedai kopi untuk menyelesaikan urusan bisnis atau bekerja di rumah, daripada harus datang ke kantor dengan memakai pakaian resmi. 

Dalam bekerjapun mereka tidak menyukai loyalitas dan selalu ingin berpindah tempat bekerja. Begitu juga dalam menggunakan alas kaki hak tinggi, atau high heels ditinggalkan karena dipandang tidak menyenangkan. Sebagai gantinya mereka lebih menyukai sepatu tanpa hak atau sejenis sneakers yang dianggap lebih praktis. 

Kondisi tersebut terjadi karena frekuensi berfikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya sehingga banyak produk yang dinilai tidak relevan dengan keinginan mereka. Penggunaan ponsel pintar yang memiliki sejumlah fasilitas canggih juga dinilai akan membunuh layanan lainnya yang selama ini sudah dilakukan masyarakat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement